Enam Tahun Mengetuk Pintu Jakarta

Bedakan. Ini foto 6 tahun lalu, demo di landmark kota tercinta: Grahadi Surabaya.

“Jakarta hari ini kuketuk pintu gerbangmu

Ijinkan aku masuk mencari masa depanku…” (OST Biarkan Bintang Menari, 2003)

Pertengahan Juni ini, saya merayakan 6 tahun petualangan merantau di Jakarta. Semua berawal pada 10 Juni 2005 tengah hari, saat pesawat Lions Air yang saya tumpangi mendarat mulus di Bandara Soekarno-Hatta. Di pelabuhan udara nan sesak itu, saya bertemu Agriceli, perempuan yang kemudian hari saya persunting sebagai isteri. Seolah sudah ada yang mengatur, Celi –begitu panggilan wartawati Tempo kala itu, baru saja menunaikan tugas meliput komunitas petani strawberry berbasis iptek di Bali.

Di tengah segala keputusasaan, selalu ada jawaban tak terduga. Berkali-kali melamar ke media ibukota, termasuk mengirim aplikasi dan menjalani tes sehari penuh untukTempo, nasib saya mentok di meja psikotes. Semua berubah saat awal Juni 2005 saya dipanggil, dari status sebagai koresponden Tempo News Room di Surabaya, untuk menjalani orientasi kerja di kantor pusat.

“Kok banyak sekali bawaannya,” kata Celi, saat itu baru dua pekan berstatus pacar, sesampainya di kamar kost, yang sengaja dicarikannya buatku di Jl. Jatayu, Gandaria, Jakarta Selatan. Perempuan Yogyakarta ini kaget demi melihat ransel gunung berisi aneka busana yang langsung membuat lemari menjadi overload. Semua lengkap, mulai kemeja, celana kain, sampai koleksi kaos bola andalan yang belakangan membuatnya jengkel.

“Iya, saya berniat tak akan balik lagi ke Surabaya,” jawabku. Memang, kontrak menjalani tugas orientasi di markas besar Tempo hanya untuk jangka waktu 3 bulan, tapi saya berprinsip, sekali pintu Jakarta telah terbuka, masakan harus ditutup kembali?

Perjalanan panjang

Demikianlah, Juni ini saya berselebrasi merayakan 6 tahun hijrah dari kolam kelahiran menuju samudera petualangan di ibukota. Dari Tempo, berlanjut ke LSPP, Ira Koesno Communications, CVC Espira, Depkominfo, UKI, KOJI Communications, Cosmobikers, Inmark Communications, KPI, dan kini berlabuh di Kompas TV.

Melahirkan junior, yang juga bertekad menaklukkan Monas. Semoga semangat itu berlanjut padanya.

Dari kamar kost yang kini tertelan kebisingan pertokoan elit Gandaria City, menikah dan pindah ke rumah petak serba mini di lorong Pondok Pinang, berganti kontrakan ke Salemba, hingga kini dikaruniai rumah seken Ciledug dengan cicilan KPR berjangka 15 tahun.

Kalau ditanya, apa resepnya bertahan di Jakarta selama 6 tahun, saya tak bisa menjawab pasti. Bahwa itu karunia dan jalan dari Tuhan, tentu saja tak bisa dipungkiri. Tapi, suatu saat saya begitu tersentuh dengan baliho koran Kompas saat mempromosikan diri sebagai harian nasional bersuplemen halaman Jawa Timur pada awal 2000-an. Iklan luar ruangan di kawasan Jl. Basuki Rahmat, Surabaya itu berbunyi, “Dalam situasi apapun, Arek Suroboyo dari dulu pantang menyerah.” Ya, kami, orang-orang Arek yang belakangan juga akrab disebut Bonek, punya gen untuk tak bisa menerima kekalahan sebagai hal lumrah. Tak hanya nekat, kami juga punya iman, kepercayaan diri, kompetensi, dan tentu saja etika dalam berkompetisi.

Saya belajar dari kegigihan almarhum kakek saya, seorang tukang ledeng yang sampai mendapat order ke Jakarta dan luar Jawa karena keahliannya. Saya juga menarik spirit pantang mundur dari mendiang Mama, yang sampai menjadi TKW selama 6 bulan di Johor Bahru. Pun juga dari persistensi Papa, yang selama 30 tahun bekerja di satu perusahaan, sebagai kondektur bis kota Damri, dengan segala pasang-surutnya.

Enam tahun di Jakarta bukanlah akhir segalanya. Tanpa pernah merasa angkuh, dari pagi ke pagi, saya akan terus mengetuk pintu kampung besar ini…

9 Replies to “Enam Tahun Mengetuk Pintu Jakarta”

  1. Wahh pak luar bisa, saya salut dengan perjuangan Bapak di Ibu Kota ini. Memang butuh perjuangan untuk tetap eksis di kota metropolitan. Saya juga merasakan hal yang sama, ketika dengan bondo nekat datang di Jakarta untuk menyelesaikan studi, tapi saya rasakan nilai plusnya adalah, dalam diri saya ada suatu hasrat dan semangat yang lebih, untuk harus berhasil. Yah, walaupun sejauh ini hal tersebut belum sepenuhnya tercapai, tetapi saya percaya, dedikasi dan semangat yang terus menyala, dan tentunya campur tangan dari Yang Kuasa suatu saat nanti akan membawa kita pada impian kita yang paling tinggi. Selamat sukses terus dalam berkarya, dan melayani. ^^

  2. Teringat pembicaraan kita saat di blok M, dalam perjalanan menuju kos-kosanmu.
    Waktu seumuran kita, mereka yang sudah jadi orang bisa itu juga bukan siapa-siapa.

  3. Memang untuk mencapai suatu keberhasilan memerlukan perjalanan yang panjang dan pengorbanan…….ternyata perjalanan dan pengorbananmu itu membawa keberhasilan, Selamat ya JO kami di BAMAG Surabaya dan para mantan awak Tiang Api bangga dengan kamu

  4. Jo, meski baru mengenal tapi aku percaya kamu bisa, semua lengkap yg kita miliki secara fisik dan mental, raihlah apa yg bisa kamu raih…tak ada yg bisa menghalangimu…percaya dibelakang kita tangan Tuhan selalu bekerja untuk kita, meski tanpa sepengatahuan kita….selamat bertarung…salam MU..

  5. Wah,saya salut sama Mas Jojo,salam sukses Mas Jojo.Sosok yang akrab,mudah bergaul dan tidak sombong,selalu mau berbagai ilmu dan pengalaman,itulah kesan saya sama Mas Jojo,pertama kali kenal di Komplek Bier,Supomo,dan beberapa kali pernah ketemu,pantang meyerah,tetap semangat Mas,salut aku….

  6. Cuma mau nanya, bagaimana pengalaman kerja di Ira Koesno Communications??? Sebab saya cuma bisa bertahan satu bulan…!!!! Nggak kuat ….. ngadepinnya…

Leave a Reply

Your email address will not be published.