Surga Neraka Sepakbola Bernama Surabaya

Akun  twitter resmi @OfficialQPR memuji sambutan suporter Surabaya, “An awesome reception in Surabaya. 1,000’s people gave QPR a warm welcome from the airport!!”

Ruddy William Keltjes (tengah) dalam laga persahabatan tak terlupakan. Kebanggaan mengalahkan Arsenal.

 

Minggu siang, para penggila bola beratribut Bonek berdiri di terminal kedatangan Bandara Internasional Juanda sambil bernyanyi, “Welcome, welcome, welcome QPR… Welcome QPR di Surabaya….” Nada lagunya persis seperti kala para suporter itu melagukan, “Bantai, bantai, bantai Arema… bantai Arema di Surabaya…” Selain bendera besar QPR, beberapa fans perempuan membentangkan jersey nomer 13 atas nama Park Ji-Sung, ikon baru QPR yang dikontrak dua tahun setelah terbuang dari Old Trafford.

QPR bukan tim papan atas di Liga Inggris. Musim lalu The Hoops bercokol di peringkat ke-17 Barclays Premier League, alias posisi terakhir dari jurang degradasi. Tim milik pengusaha Malaysia Tony Fernandes ini selamat, meski kalah 2-3 dalam partai dramatis di Etihad Stadium yang mengantarkan Manchester City juara Liga Primer. Namun, meski berada di posisi kacrut dalam klasemen akhir BPL, QPR tetap layak disebut ‘top flight team’, tak lain karena statusnya sebagai peserta liga domestik paling bergengsi di dunia itu.

Saya sendiri mengenal nama QPR, klub yang para pemainnya kebanyakan berasal dari kawasan Queen’s Park di barat laut kota London itu, pada akhir 1980-an. Saat itu, SCTV rutin memegang lisensi Piala FA, dan tiap akhir pekan rutin menayangkan program ‘Road to Wembley’, berisi cuplikan partai menuju puncak turnamen antarklub tertua di dunia. Dari berbagai highlight, saya terpaku pada penampilan penjaga gawang yang tampak kualitasnya di atas rata-rata, dan biasa menendang goalkick dengan tapak kaki bagian ujungnya. Kelak, kiper bernama David Andrew Seaman itu kita kenal sebagai legenda tim nasional Inggris dengan 75 kali penampilan di timnas senior. Direkrut dari QPR, Seaman menghabiskan sejarah besarnya bersama Arsenal, sebelum gantung sepatu di Manchester City.

Arsenal, Ajax, AC Milan

Surabaya adalah magisnya sepakbola Indonesia. Tak mungkin saya menjadi penggila sepakbola kalau tak lahir dan besar di kota sarat sejarah itu. Kegandrungan dan fanatisme sepakbola diawali saat saya berusia 6 tahun. Ayah saya, seorang kondektur bis kota Damri, rajin mengajak dua anak tertuanya menyaksikan langsung laga Perserikatan atau Liga Sepakbola Utama (Galatama) di Stadion Gelora 10 November Tambaksari. Salah satu memori berkesan saat Persebaya menjamu PSIS Semarang, dalam perhelatan nan penuh sesak manusia, hampir 45 ribu orang menyesaki stadion yang dibangun untuk penyelenggaraan PON VII tahun 1969 itu.

Masuk usia sekolah menengah, saya rajin ke Tambaksari, menjadi ‘bonek junior’, bahkan saat istilah bonek belum ditemukan. Sebuah nama yang diberikan Ketua Umum Persebaya Dahlan Iskan sebagai penanda kelompok suporter bermodal nekat mendukung ‘Green Force’. Saya menjadi pendukung loyal Niac Mitra, klub semi profesional milik Agustinus Wenas, pengusaha pemilik rumah hiburan bernama NIAC (New International Amusement Center).

Pada 16 Juni 1983, Niac Mitra mencatat sejarah saat ketamuan Arsenal di Tambaksari. Tuan rumah diperkuat kiper David Lee, Budi Aswin, kapten Wayan Diana, Yudi Suryata, Rudy Keltjes, Rae Bawa, Hamid Asnan, Syamsul Arifin, Dullah Rahim dan Yance Lilipaly. Adapun Meriam London, dalam perjalanan berlibur ke Bali usai menggebuk PSMS 3-0 dan PSSI Selection 5-0 melawan PSSI Selection, diisi penjaga gawang Pat Jennings, David O’Leary, Chris Whyte, Graham Rix, Brian McDermott, dan Paul Davis. Sebuah kejutan hadir dalam pertandingan di tengah panas terik, dimulai jam dua siang itu Skor berakhir 2-0 untuk Niac Mitra. Fandi Ahmad, penyerang asal Singapura, membuka gol di menit ke-37, dengan Joko Malis mencetak gol pengganda, lima menit jelang bubaran. Terimakasih untuk Rossi Rahardjo yang mengirimkan data dan dokumentasi foto pertandingan bersejarah ini.

Niac Mitra terus berjaya di Galatama, sebelum dibubarkan Wenas karena merasa dirugikan PSSI. Saya pun menyempatkan menonton laga perpisahan Niac Mitra, mengundang Selangor FC Malaysiayang memberi warga Surabaya kado pahit dengan kekalahan 1-5. Niac bubar, berganti nama menjadi Mitra Surabaya, klub sepakbola publik pertama di Indonesia, yang kemudian dijual ke Kalimantan Timur dan berubah menjadi Mitra Kutai Kartanegara.

Wayan Diana, kapten Niac Mitra bertukar kenang-kenangan dengan kapten Arsenal, David O’Leary. Langganan tamu asing.

Publik sepakbola tentu tak lupa partai internasional lain, kala Ajax Amsterdam dengan Johan Cruyff-nya mendapat perlawanan ketat dari Persebaya, sebelum mereka taklukkan 2-3 di Tambaksari pada 1975. Juga memori tak terlupakan pada 1994, sat Surabaya Selection menghadapi AC Milan. Bukan karena skornya, 1-4 untuk kemenangan i Rossoneri, tapi karena melihat aksi Dejan Savicevic, Marcel Desailly, Christian Panucci dan kawan-kawan muntah-muntah akibat kepanasan bermain laksana di neraka, yang sengatan mataharinya tak bakal dijumpai di Milan sana. Juara Liga Italia dan Piala Champions Eropa itu membawa juga pemain termahal dunia, Gianluigi Lentini, dengan pelatih Fabio Capello. Satu-satunya gol hiburan Surabaya Selection dihasilkan lewat penalti Yusuf Ekodono, legenda Persebaya yang kini anaknya, Fandi Eko Utomo, memperkuat tim nasional U-22.

Surabaya sebagai surga bagi tim Eropa juga pernah dirasakan PSV Eindhoven. Tim dari Belanda Selatan ini datang ke Tambaksari dengan membawa bintang masa depan mereka, Ronaldo Luis Nazario de Lima. Nyatanya, setelah sempat mendapat kehormatan duduk di kepala reog di upacara penyambutan, tak semenit pun Ronaldo merumput saat PSV melibas Persebaya 6-2.

Dengan stadion barunya di barat kota, Gelora Bung Tomo, Surabaya mencatat sejarah lagi. Kini, Persebaya and Friends –ketambahan bintang tamu Diego Michiels dan Patrich Wanggai, meladeni tamunya dari Liga Inggris. Teringat pidato Bung Tomo, arek-arek Suroboyo tentu berniat menunjukkan “satoe pertahanan jang tidak bisa didjebol” dan tak mau membawa bendera putih takluk kepada asing.

5 Replies to “Surga Neraka Sepakbola Bernama Surabaya”

  1. Mas, kalo nggak salah Niac Mitra juga pernah tanding lawan klub Belanda. Aku lupa namanya, entah itu Ajax, Feyenord atau Groningen. Yang jelas waktu itu Niac unggul 3-2.

  2. surabaya selection vs ac milan skor 1-4, bukan 1-3. gol surabaya bukan yusuf ekodono tapi ibnu grahan bosss, aku masih ingat masuk stdion G10N dikasih ikat kepala bertuliskan FORZA MILANO htm@ RP, 15000

Leave a Reply

Your email address will not be published.