Denni Purbasari: Hadapi Gelombang Hebat, Awak Kapal dan Penumpang Jangan Bertengkar

Ini sosok Deputi III Kepala Staf Kepresidenan. Denni Purbasari berbicara tentang tugas dan perannya di KSP serta tantangan ekonomi Indonesia ke depan.

sitroomBesar sebagai akademisi dan ekonom dari Universitas Gadjah Mada, Denni Purbasari kini masuk ‘ring satu’ pemerintahan. Sederet pengalaman dan latar keilmuan teknisnya diharapkan menunjang fungsi Kantor Staf Presiden sebagai ‘think tank’ kepresidenan.

Merampungkan Sarjana Ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada pada tahun 1997 sebagai lulusan terbaik dan tercepat, Denni kemudian mendapat beasiswa Fulbright untuk S2 di University of Illinois at Urbana-Champaign, Amerika Serikat.

Pada 2006, gelar doktor ekonomi diraihnya dari University of Colorado dengan disertasi berjudul  ‘Political Connection, Trade Protection and Multinational Corporations: Firm-Level Evidence of Patronage in Indonesia’.

Sebelum masuk Bina Graha, Denni pernah menjadi Tim Asistensi Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk Kerjasama Internasional, Tim Asistensi Menteri Perdagangan Mari Pangestu, serta sebagai Asisten Staf Khusus Wakil Presiden RI Boediono.

Secara ringkas, apa prioritas isu ekonomi strategis yang dikerjakan oleh Kedeputian III Kantor Staf Presiden?

Sejak awal tahun 2016, Kedeputian III mengerjakan isu pangan, industri, dan Nation Branding. Dalam bidang pangan, fokus diberikan untuk perubahan penyaluran Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin), evaluasi atas kebijakan impor bahan pangan, perbaikan statistik pertanian khususnya produksi padi, dan peningkatan pengetahuan pertanian khususnya SMK Pertanian.

Dalam bidang industri, baru dalam tahapan memberikan masukan terkait kemudahan berusaha, kompetisi, suku bunga, KUR, dan logistik. Sedangkan untuk Nation Branding kami fokus pada riset yang menjadi dasar penciptaan Nation Branding.

Sebagian besar pekerjaan di atas bersifat lintas K/L bahkan lintas Kemenko. Namun ada juga beberapa portfolio pekerjaan yang sifatnya insidental yang karena adanya suatu perkembangan, kami perlu menelaahnya sebagai bagian dari tugas untuk memberikan peringatan dini kepada pimpinan.

Tahun ini, pertumbuhan Indonesia menembus 5 persen meskipun ekonomi dunia melambat. Presiden Jokowi terus membanggakan ini, Sebenarnya bagaimana kondisi perekonomian Indonesia dan tantangan ke depan, terutama pada 2017 mendatang?

Jika dilihat dari pertumbuhannya, masih ada beberapa negara lain yang pertumbuhan ekonominya lebih tinggi daripada Indonesia di luar China dan India. Misalnya, Filipina dan Vietnam yang tumbuh di atas 6 persen. Indonesia bisa tumbuh 5 persen meski dunia hanya tumbuh 3,1 persen karena sumber-sumber pertumbuhan dari dalam negeri masih cukup baik.

Sebanyak 55 persen GDP kita berasal dari konsumsi rumah tangga. Jadi, selama consumer confidence baik, maka konsumsi masih bisa tumbuh di atas 5 persen. Consumer confidence ini ditopang oleh 2 variabel penting, yaitu ekspektasi terhadap stabilitas harga atau biaya hidup, serta ekspektasi terhadap naiknya pendapatan dan lapangan pekerjaan.

Inflasi kita masih di sekitar 3 persen dan diharapkan ke depan terus terkendali, khususnya harga bahan pangan. Untuk faktor ekspektasi terhadap naiknya pendapatan dan lapangan kerja, kuncinya ada pada bertumbuhnya perusahaan-perusahaan di Indonesia, baik existing maupun baru, lokal maupun asing, di sektor manapun.

Paket-paket kebijakan ekonomi, sapu bersih pungli, perbaikan ease of doing business, pembangunan infrastruktur, adalah upaya-upaya yang sudah dan akan terus dilakukan untuk meningkatkan investasi. Jangan lupa bahwa investasi itu menempati 32 persen GDP. Kita harus memastikan investasi tumbuh lebih tinggi daripada 4,88 persen.

Khusus untuk rumah tangga miskin dan rentan, Pemerintah terus memastikan agar aneka bantuan sosial dapat tepat sasaran sehingga membantu mengurangi beban hidup dan menahan goncangan pendapatan dalam rumah tanga.

Masih optimistis terkait Tax Amnesty. Beberapa pihak menilai antusiasme wajib pajak agak menurun pada periode kedua ini?

Tujuan dari Tax Amnesty menurut UndangUndang tentang Pengampunan Pajak No 11/2016 adalah meningkatkan kepatuhan, penerimaan, dan pendanaan pembangunan. Tambahan penerimaan pajak dari uang tebusan Tax Amnesty ditargetkan Rp165 triliun. Banyak pihak awalnya sangsi dan memperkirakan angkanya barangkali maksimal hanya Rp50-an triliun. Ternyata sampai dengan 30 September 2016 (batas periode pertama) sudah mencapai Rp 97,3 triliun. Jumlah ini sangat berarti untuk mengamankan APBN 2016.

Selain itu, karena pembayar tebusan sebagian besar dari non-UMKM, maka ini juga bagian dari upaya meredistribusi pendapatan atau mengurangi ketimpangan. Dari 386.295 wajib pajak peserta Tax Amnesty, 66.271 diantaranya tidak lapor SPT, 15.823 wajib pajak yang baru mendaftar, dan 188 wajib pajak yang tidak membayar. Jadi kepatuhan meningkat.

Tidak hanya itu, database orang kaya dan kekayaannya menjadi lebih baik sehingga diharapkan pada tahun-tahun mendatang penerimaan pajak dan tax ratio kita dapat ditingkatkan. Tax ratio Indonesia tahun 2015 hanya 10,7%, lebih rendah daripada peer countries. Ini disebabkan hanya 27 juta orang dari 255 juta penduduk Indonesia yang memiliki NPWP, dan dari jumlah ini hanya 10 juta orang yang menyampaikan SPT. Dari jumlah yang menyampaikan SPT, hanya 100 ribu orang yang membayar kekurangan wajib pajak pribadi. Tanpa penerimaan pajak yang terus bertumbuh, pemerintah tidak bisa membiayai pembangunan secara agresif dan berkesinambungan. Dengan upaya yang terus dilakukan oleh Kementerian Keuangan dan karakter masyarakat Indonesia yang cenderung mepet-mepetdari deadlines, kami berkeyakinan jumlah peserta tax amnesty ini masih akan meningkat, khususnya di saat-saat akhir penutupan periode kedua.

Perlu dicatat bahwa meskipun pada akhir tahun nanti dana tebusan tidak naik cukup signifikan, namun uang repatriasi sebesar Rp143 triliun dapat membantu menjaga stabilitas rupiah dan likuiditas perekonomian. Ini jelas sangat membantu manakala ada tekanan eksternal, khususnya pasca Donald Trump terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat dan rencana kenaikan suku bunga the Fed.

Pemerintah sedang mempersiapkan penggantian Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin) menjadi voucher pangan. Ada yang melatarbelakangi kebijakan ini?

belanjaProgram Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin) pada dasarnya sudah berlangsung selama 18 tahun dengan nama yang sudah berubah sekian kali sejak pertama diluncurkan. Pada tahun 2014, KPK menyarankan desain Raskin diubah agar lebih tepat sasaran, tepat jumlah, tepat harga, tepat waktu, tepat kualitas, dan tepat administrasi.

Mengapa? Karena rumah tangga miskin mestinya menerima 15 kilogram, namun rata-rata hanya menerima 5-6 kilogram saja. Mestinya diberikan tiap bulan, namun ternyata diberikan 2-3 bulan sekali. Mestinya harganya Rp 1.600 per kilo, namun rata-rata membayar Rp 2.100 per kilo. Mestinya kualitas berasnya baik, namun banyak yang tidak baik. Mestinya Pemda membayar biaya sampai dengan titik bagi, namun kenyataannya banyak desa, kelurahan, dan warga yang membayar biaya administrasi.

Situasi ini terjadi bertahun-tahun, padahal uang yang dibelanjakan untuk Raskin Rp21 triliun per tahun. Dalam mekanisme yang baru, yang akan diawali di 44 Kota pada 2017, Pemerintah akan mentransfer Rp110.000 per bulan ke rekening keluarga sasaran dalam sebuah kartu debit—yang nantinya menjadi satu-satunya kartu bantuan sosial. Uang yang ditransfer ini hanya bisa dibelanjakan untuk beras dan telur di pasar/warung/toko.

Dengan harga beras kualitas rendah di pasar Rp8.200 per kilo, keluarga sasaran akan mendapatkan 13 kilo beras per bulan. Jumlah ini dapat memenuhi kebutuhan beras selama 13 hari, dan berasnya pun layak makan. Jadi, beban hidup keluarga miskin terangkat karena kebutuhan pokok ini sebagian terpenuhi dan kemiskinan di 44 kota itu bisa turun 0,32 poin persentase, ceteris paribus.

Fiskal kita menjadi lebih efektif dalam mengurangi kemiskinan, selain ketepatan sasaran, waktu, dan administrasi dapat ditingkatkan. Menurunkan kemiskinan ini kan ambisi Presiden Jokowi, yang merupakan pengejawantahan Nawacita ke-5 ‘untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat’. Dalam skema yang baru, Pemerintah tetap hadir untuk memastikan kecukupan jumlah pedagang beras dan pasokan beras di pasar karena pengadaan 21 ribu ton beras per bulan di 44 kota akan ‘dilepas’ dari Badan Urusan Logistik (Bulog) kepada pasar.

Terkait itu, cadangan beras pemerintah di Bulog perlu diperkuat untuk meredam potensi lonjakan harga beras. Jadi, fungsi Bulog tidak hilang. Negara—melalui Bulog—tetap hadir sebagai stabilisator harga beras; selain sebagai penyangga harga gabah/beras petani bila jatuh.

Saat ini, pemerintah gencar sekali mendorong sosialisasi dan riset terkait ‘Nation Branding’. Capaian apa yang diharapkan?

Presiden Jokowi dalam Rapat Kerja Pemerintah 2016 menyebutkan pentingnya Indonesia memiliki Country Branding. Dalam beberapa kesempatan, Presiden juga menyebutkan kelemahan dalam strategi promosi kita dalam pariwisata, investasi, maupun perdagangan, yang pada intinya tidak merefleksikan atau mencitrakan ‘kebesaran’ Indonesia dengan baik.

Ketika Bapak Kepala Staf menugaskan hal ini kepada Kedeputian III, hal pertama yang kami lakukan adalah melakukan riset. Mengapa? Karena mengambil analogi sebuah perusahaan yang akan mengenalkan suatu produk, yang dilakukan pertama kali adalah melakukan riset pasar. Tidak hanya preferensi konsumen dan peta kompetisi pasar dipelajari; namun ekspektasi konstituen domestik dan keunggulan dan kelemahan domestik juga ditangkap. Tanpa itu, kita sulit untuk positioning negara kita dengan tepat.

Sebelum suatu produk dilempar ke pasar, produk harus dikembangkan dan dipoles, baru dipromosikan. Jadi Nation Branding bukanlah soal pembuatan logo dan slogan untuk promosi. Lebih besar daripada itu. Dalam Nation Brandingada cita-cita bersama dan komitmen bersama untuk melakukan perubahan agar citra bangsa Indonesia menjadi lebih baik.

Jadi jika turis asing misalnya tertarik berkunjung ke Indonesia karena promosi turisme kita, begitu mereka tiba di Indonesia apa yang dibayangkan oleh mereka dari promosi kita itu dirasakan betul. Begitu mendarat bandara nyaman, proses imigrasi lancar, petunjuk di bandara lengkap dan jelas, bagasi aman, kamar mandi bandara bersih, semua orang ramah, layanan taksi bersih-pasti-aman, hotel nyaman, jalan-jalan bersih, lalu-lintas tertib, kemana-mana aman dan nyaman, produk-produk yang dijual berkualitas, objek wisata bersih dan nyaman, orang tidak kencing, meludah, merokok, membuang sampah sembarangan, dan seterusnya hingga terwujudlah kesan positif tentang Indonesia.

Begitu juga bila investor asing ke Indonesia atau warga asing menikmati produk made in Indonesia. Kesannya satu: Indonesia itu baik. Jadi, dalam nation branding itu ada janji bangsa kita yang harus dapat di-delivered. Bila tidak, maka brand tersebut palsu, dan kehilangan kredibilitas. Jadi dalam nation branding melekat revolusi mental bangsa Indonesia di semua lini (pemerintah-pengusaha-warga) untuk jadi lebih baik. Relevansinya, Nawacita ke-1 sampai dengan ke-9.

Karena itu proses penciptaan nation branding ini harus melibatkan masyarakat sebagai pemilik brand Indonesia dan perlu dipimpin langsung oleh Presiden, bukan Menteri. Jika tidak ada pelibatan masyarakat, maka masyarakat tidak akan ada rasa memiliki dan perubahan mendasar di dalam negeri tidak akan terjadi. Jadi ini kerja besar seluruh elemen bangsa.

Launching Nation Nranding diperkirakan Oktober 2018. Targetnya, reputasi Indonesia di dunia terangkat, angka ekspor, turis, investasi meningkat.

Saat ini, situasi politik nasional sedang menghadapi dinamika. Seperti apa dunia usaha dan pakar ekonomi melihatnya?

Tanpa ada guncangan dari dalam negeri pun, ekonomi Indonesia menghadapi tantangan yang luar biasa karena ketidakpastian yang berasal dari luar negeri. Naiknya suku bunga the Fed, Brexit, perlambatan ekonomi Tiongkok, turunnya harga komoditas di pasar global, dan terakhir, terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden di Amerika Serikat yang diperkirakan akan mengubah arah kebijakan ekonomi Amerika Serikat membawa pengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap ekonomi Indonesia.

Faktor politik dan keamanan yang terjadi di luar negeri, seperti di Perancis, Belgia, Jerman, Afrika, Asia, dan Timur Tengah turut berpengaruh terhadap sentimen investor maupun pelancong. Di saat kondisi eksternal seperti ini, sumber pertumbuhan ekonomi jelas akan banyak bertumpu dari dalam negeri. Konsolidasi seluruh kemampuan dalam negeri menjadi kritikal. Namun bila di dalam negeri sendiri justru ada kegaduhan politik, tentu bukanlah hal yang diharapkan.

Ibarat sebuah kapal dengan 250 juta penduduk, kita ini sedang menghadapi gelombang hebat lautan. Akan sangat sulit bila awak kapal berikut penumpang saling bertengkar. Kapal kita ini bisa terbalik dan karam bukan karena gelombang, namun karena kesalahan kita sendiri. Banyak media sudah mengangkat suara pengusaha dan persepsi investor. Demonstrasi diperbolehkan, namun juga harus diingat bahwa semua pihak perlu menjaga transisi demokrasi kita agar demokrasi membawa pada kesejahteraan rakyat.

Leave a Reply

Your email address will not be published.