Mental Petarung Luis Suarez

Tayangan beIN Sports semalam menjelaskan itu semua. Menit ke-66, Luis Suarez mendapat ‘umpan’ sangat manja dari blunder Sergi Guardiola, penyerang Real Valladolid yang baru masuk 4 menit sebelumnya. ‘Terrible pass’, kata komentatornya. Luis berlari kencang dari tengah lapangan, 40 yard atau kira-kira 36 meter, meninggalkan empat pemain lawan dan menendang bola ke gawang Jordi Masip dengan kaki lemahnya. Kaki kiri.

“Luis Suarez, scores… of course he does, of course he does!
That’s a fantastic finish, isn’t it?
We’re talking about these player that under their circumstances
That they had live and they have gone through and they can deal with the pressure
He might not have the pace anymore, but he’s still got the precision…”

Selanjutnya, adalah sejarah. Luis Suarez menangis sesenggukan saat ber-‘facetime’ dengan seseorang di tengah lapangan usai Atletico memastikan gelar juara La Liga 2020/2021. Kemungkinan orang di hadapan layar ponselnya adalah Sofia Balbi, pasangan sejati Suarez sejak kanak-kanak. Luis Suarez mengangkat gelar La Liga kelima bagi dirinya, pada musim pertama setelah dicampakkan dari Barcelona.

Suarez wajar menangis karena musim ini bagaikan roller coaster baginya. Karir Suarez dicap berakhir saat Barcelona melepaskan pada bursa transfer musim panas 2020. Ronald Koeman, pelatih baru Barca yang menyatakan Suarez tak masuk skema, ironisnya berasal dari Belanda. Sebuah negara yang sangat berarti bagi jalan hidup Suarez sebagai pemain bola. Negara Eropa pertama yang dikecapnya sebagai pemain profesional. Bermain untuk Groningen, Ajax, baru kemudian melompat ke Liverpool, Barca dan Atletico.

Barcelona melepas Suarez, yang sudah enam musim di Camp Nou, karena merasa umur sang pemain, 34 tahun, sudah terlalu tua.

Beruntung, Atletico mau membelinya dengan mahar 7 juta euro. Sang nomor 9 pun rela memotong gajinya untuk membuktikan, bahwa El Pistolero, julukan Suarez, masih ada.

Saya sedang menamatkan buku biografinya saat kisah heroik Atletico menyingkirkan rekan sekotanya dari perebutan juara La Liga di pekan terakhir terjadi.

Judul buku itu: Luis Suarez, Crossing The Line, Melampaui Batas. Sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Kepustakaan Populer Gramedia. Harganya tak sampai Rp 100 ribu. Recommended.

Berasal dari Salto, kota kecil berjarak hampir 500 km dari ibu kota Uruguay, Montevideo, Suarez mengalami hidup nan keras saat orang tuanya bercerai di usia 9 tahun. Beruntung, masa remaja mempertemukannya dengan Sofi, yang kemudian menjadi cantolan hidup dan penyemangatnya bermain bola.

Jelang pertandingan, Suarez cilik kerap menodong Wilson Pirez atau Jose Luis Esposito, dua orang direktur klub Nacional tempatnya bernaung, “Kalau saya mencetak gol, boleh minta dua puluh peso?”

Nominal itu tak banyak. Kalau dikonversikan, tak sampai sepuluh ribu rupiah. Tapi, jumlah tersebut cukup mengantarnya naik bus sekali jalan ke rumah Sofi naik bus dari Montevideo ke Solymar usai sesi latihan atau pertandingan.

“Urusan pulangnya bagaimana, itu bisa dipikirkan belakangan. Saya tidak tega meminta uang kepada ibu saya dan juga tidak bisa meminta-minta kepada saudara-saudara saya,” ungkapnya.

Demikianlah. Kehebatan Suarez berkembang. Mengantarnya ke Eropa. Termasuk bermain bersama tim terbaik Belanda, Ajax Amsterdam. Setelah menikmati masa-masa bersama pelatih Henk Ten Cate, Martin Jol dan caretaker Adrie Koster, Suarez merasa bangga saat Ajax menunjuk legenda mereka, Marco Van Basten, memasuki musim 2008.

Tapi, begitulah. Pemain hebat ternyata belum tentu pelatih hebat. Van Basten, yang kala itu baru menuntaskan masa empat tahun sebagai pelatih timnas Belanda, dinilai memiliki metode pelatihan aneh. Salah satunya, mengharuskan pemain datang dalam sesi kebersamaan berupa “kelas seni”.

Para pemain Ajax datang ke sanggar lukis, dilempari sembarang kata, dan kemudian harus menggambar apa saja yang ada di benak mereka. “Kami susah payah menguak potensi terpendam sebagai Van Gogh. Saya ke Belanda bukan untuk mengikuti jejak maestro seni lukis lawas. Sungguh, saya gagal paham,” gerutunya.

Kali lain, Van Basten menumbuhkan semangat tim dengan berkegiatan di luar lapangan dengan cara lain. Tiga minggu jelang kompetisi usai dan AZ Alkmaar sudah meraih gelar juara 2008-2009, Van Basten menyuruh pemain Ajax berburu harta karun dengan bermobil di jalanan Amsterdam.

“Kami berjejalan di dalam Citroen 2CV berkeliling kota untuk mencari petunjuk magis misterius, sedangkan 35 kilometer dari tempat kami berada, AZ sedang merayakan keberhasilan menjuarai liga. Alangkah kontras. Mereka menang, kami berkeliling-keliling naik mobil mungil,” kisahnya, masih gagal paham.

Suarez pindah ke Liverpool di era Kenny Dalglish kembali jadi pelatih The Reds. Tapi, tak lama kemudian, Brendan Rodgers mengambil alih posisi itu.

Metode Brendan menyemangati anak buahnya tak kalah ajaib. Pelatih asal Irlandia ini mengumpulkan seluruh anggota tim pada masa persiapan pramusim dan menunjukkan tiga amplop kepada para pemain. Brendan memberi tahu bahwa di dalam masing-masing amplop, tersimpan nama orang yang akan mengecewakan tim pada musim mendatang. Kata Brendan, para pemain bertanggungjawab, untuk memastikan bahwa yang tertulis di amplop tertutup itu bukan nama mereka. Pada akhir musim, dia akan membuka amplop dan menunjukkan nama-nama di dalamnya.

“Saya baru kali itu menyaksikan seorang manajer bertindak demikian dan tentu saja sesudah itu banyak pemain yang membicarakannya,” kenang Suarez.

Suatu hari para pemain duduk berkelompok, lalu Glen Johnson menghampiri yang lain dan berkata: “Aku tahu siapa yang namanya tertera di dalam amplop. Aku tahu ada tulisan apa di dalam ketiga amplop.”

“Siapa? Apa?” sahut yang lain.
Glen berkata, “’Number 3’…. ‘Jose’…. dan ‘Enrique’,”

Mereka tertawa terpingkal-pingkal, sementara Jose Enrique tak terima atas candaan itu.

“Bukan, bukan. Bukan namaku yang ditulis di dalam sana, tapi kau!” protes Jose.

“Betul, aku melihat namamu,” bantah Glenjo lagi.

Itulah musim pertama dari 3,5 musim Brendan Rodgers di Liverpool. Pertandingan pertama di Liga Inggris dihajar 0-3 oleh West Brom di Malam Takbiran. Musim itu, The Reds berakhir di posisi ketujuh.

Di season 2013/2014, di akhir musim kala Liverpool begitu dekat dengan gelar juara sebelum kisah keplesetnya sang kapten melawan Chelsea, lain lagi metode Brendan.

Di ruang ganti tiap jelang pertandingan, Brendan menyampaikan pidato penyemangat yang istimewa untuk tim. Sebelumnya, dia menghubungi ibu para pemain satu per satu, dan meminta para ibu menulis sesuatu mengenai putera mereka.

Sebelum tiap pertandingan yang mengantarkan Liverpool kian dekat ke tangga juara, Brendan menghabiskan beberapa menit terakhir menjelang laga untuk membacakan pesan ibu salah seorang dari pemain ke hadapan tim, tanpa pernah memberitahu pesan dari ibu siapa itu. Begitulah, sebelum kick-off, pesan terakhir bukan berasal dari manajer, melainkan dari ibu pemain.

Terkadang momen ini menjadi semacam permainan tebak-tebakan di antara pemain: surat dari ibu siapa minggu ini?

Kadang kala pesannya umum.

“Putra saya bercita-cita bermain untuk Liverpool sejak usianya sembilan tahun dan lihatlah dia sekarang.”

Tapi, di waktu lain, ada petunjuk besar dari pesan itu.

“Putra saya mulai bermain sepak bola di jalanan Brasil ketia dia…”

atau,

“Putra saya ingin menjadi kiper sejak dia belajar berjalan,” dan terbongkarlah identitas penulisnya.

Pada hari ketika Brendan diketahui menyampaikan pesan dari ibu Suarez, sang manajer mengawali dengan berkata, “Hari ini kita pakai bahasa Spanyol.”

Terbacalah pesan itu dalam bahasa Spanyol yang dialihbahasakan maknanya dalam bahasa Inggris. Mendengarkan kesan yang dituliskan oleh ibu sungguh mengharukan bagi Suarez, yang kemudian menjadi pemain terbaik Liga Inggris musim itu.

Kalimat terakhir dalam surat itu berbunyi, “Jersey Liverpool kini dijumpai di tiap rumah di Uruguay.”

Brendan mencoba taktik “motivasi dari ibu” pada suatu pekan dan Liverpool ternyata menang, maka dia mempertahankan metode itu. Termasuk pada hari ketika Liverpool menang melawan Manchester City di peringatan 25 tahun Tragedi Hillsborough. Kali itu, Brendan membacakan pesan dari ibu Philippe Coutinho, yang akhirnya mencetak gol kemenangan 3-2 setelah kapten Vincent Kompany melakukan kesalahan fatal.

Luis Suarez punya mental juara. Kecuali di Groningen, ia selalu memberi gelar di manapun berada. Juara Divisi Primera bersama Nacional 2006, KNVB Cup 2010, Eredivisie bersama Ajax 2011 -meski hanya tampil setengah musim sebelum hijrah ke Anfield, dan juga Piala Liga bersama Liverpool era King Kenny pada 2012.

Di luar itu, jatuh bangun dihadapi usai karakter temperamentalnya tiga kali menggigit lawan, yakni Otman Bakkal dari PSV Eindhoven, Branislav Ivanovic dari Chelsea, dan Giorgio Chiellini dari timnas Italia pada Piala Dunia 2014.

Belum lagi kasus rasismenya dengan Patrice Evra yang penuh kontroversi, karena menurut Suarez ia sama sekali tak bermaksud menjelekkan Evra saat adu mulut disertai kalimat, “Por que, negro?”

Juga kisah heroik ‘No Es La Mano de Dios, Bukan Tangan Tuhan’ yang menyelamatkan Uruguay dari kekalahan atas Ghana perempatfinal Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. ‘Kenakalan’ El Pistolero membawa tim biru langit masuk empat besar Piala Dunia, yang terakhir kali terjadi 40 tahun sebelumnya di World Cup Mexico 1970.

Setelah empat kali juara La Liga bersama Barcelona, entah metode apa yang diterapkan Diego Simeone sehingga Suarez kembali mengeluarkan ‘DNA Champions’ dalam dirinya.

Pemenang sejati adalah seorang yang pernah terjatuh dan tenggelam dalam lautan luka dalam, tapi kemudian bangkit lagi. Dia tersesat, tapi kemudian tahu arah jalan pulang: jadi juara!

Seperti ditayangkan di

Mental Petarung Luis Suarez

Mental Petarung Luis Suarez

Leave a Reply

Your email address will not be published.