Ibu meninggalkan kami dengan warisan spirit, etos kerja, dan perfeksionisme tingkat tinggi.
Sepuluh hari sudah Ibu meninggalkan kami. Ibu Titik Palembowati, berpulang ke sorga dalam usia 56 tahun, 3 bulan dan 29 hari pada Senin, 6 Juni 2011. Ibu berpulang sebagai pemenang, dalam perjuangan panjangnya melawan kanker getah bening yang telah menyusup ke tulang. Dalam setahun ini, Ibu empat kali keluar masuk Rumah Sakit Panti Rapih dan RSUD Dr. Sardjito, di Yogyakarta.
Sebulan silam, dalam kondisi terbaring di ruang perawatan kelas 2 RS Sardjito, Ibu menelpon dengan nada riang. Ada nuansa bahagia saat Ibu mengucapkan selamat atas kehamilan kedua dari isteri saya, Celi, yang kini memasuki usia kandungan lebih dari 16 pekan. “Jadi, Einzel bukan anak tunggal, kan?” katanya. Saya melihat ada senyum kemenangan di balik jarak 500 kilometer yang terhubungkan frekuensi Global System for Mobile (GSM) dari dua ponsel kami.
Rabu Kliwon, 14 November 2007, anak pertama kami lahir di RS Panti Rapih, Yogyakarta. Lewat sebuah operasi caesar, pejantan tangguh itu diambil dari rahim Celi dengan berat 2,7 kg dan panjang 47 cm. Dua pekan lebih awal dari jadwal melahirkan normal. Tiga hari setelah Einzel lahir, ibulah yang menggendongnya keluar dari rumah sakit, berjalan menuruni lift, mendekapnya di Taksi Pandawa, hingga memandikannya di sore perdana di rumah Kwarasan.
“Terserah, mau dikasih nama siapa, aku cuma nitip satu kata: Einzel. Mau ditaruh di depan, tengah, atau belakang, sakarepmu,” kata Ibu. Sebagai guru Bahasa Jerman SMA Negeri 4 Yogyakarta, Ibu menjelaskan bahwa Einzel berarti anak pertama. Anda tahu kan urutan angka dalam bahasa Jerman: Ein, Zwei, Drei…
Beberapa teman baikku, entah orang Indonesia yang suka pergi ke ranah Bavaria, atau orang Jerman yang kukenal apik, menertawakan penamaan itu. Menurut mereka, Einzel artinya bukan anak pertama (first), tapi anak tunggal (single). Ibu tak terima dengan “penemuanku” itu. Ibu menelpon kawannya yang pengajar Sastra Jerman di Universitas Negeri Yogyakarta, dan kembali menegaskan makna awalnya. Apapun arti sebenarnya, kini kami percaya, Ibu yang benar. Einzel anak pertama, ia punya adik yang tumbuh sehat di perut Bunda Celi. Kami percaya, dari sorga Ibu turut mendoakan kelahiran anak kedua kami akan lancar adanya, yang kalau Tuhan izinkan terjadi awal Desember nanti. Natal pertama kami tanpa Ibu di Yogya.
“Sakjane, apa alasanmu, memilih Celi?” Enam tahun lalu, tiba-tiba Ibu melontarkan pertanyaan. Saat itu, kami berdua berboncengan motor di kawasan Minomartani, Yogyakarta. Dalam perjalanan mencari rumah yang cocok, sebagai pengganti rumah Gejayan yang telah ditempati hampir 30 tahun. Kala itu, saya dan Celi masih berstatus sepasang pacar. Tentu saja, saya berusaha memberi jawab sebaik mungkin, setidaknya agar lulus ujian dari sang (calon) mertua. Dalam bahasa Jawa campur bahasa nasional, terlontar jawaban, “Saya melihat Celi sebagai seorang perempuan seimbang. Di satu sisi, tampil sebagai perempuan karir. Tapi, di sisi lain, Celi mampu mengurus rumah dengan baik.” Kini, hampir lima tahun berumahtangga, saya percaya, jawaban itu bukan sebuah hiperbola.
Warisan mahal
Ibu meninggalkan kenang-kenangan yang jauh lebih berharga dari apapun. Semangat juang, sebagai guru yang memilih tetap mengajar di antara invasi kanker stadium tinggi menggerogoti tubuhnya. Juga sebagai perempuan pendamba kesempurnaan sejati, dalam hal apapun. Mulai soal kebersihan rumah, ketepatan waktu, dan aneka detail hal-hal kecil. Mungkin, salah satu ketidaksempurnaan dalam sifat perfeksionis Ibu adalah saat menandatangani kata setuju atas permohonan saya –manusia yang jelas gak sempurna banget dalam kriteria Ibu- untuk menjadi menantu pertamanya.
Bagi kita di bumi ini, selalu ada pertanyaan, apa hal yang dikerjakan oleh mereka yang telah mendahului kita kembali ke alam kesempurnaan? Begitu pun yang saya pikir beberapa hari terakhir. Apakah Ibu telah bertemu Mama, perempuan yang melahirkan saya yang wafat hampir 5 tahun silam, tepat menjelang syukuran pernikahanku di Surabaya?
Kematian, sebagaimana juga sebuah kehidupan itu sendiri, adalah sebuah misteri besar. Tak ada yang bisa dilakukan selain mensyukurinya. Santo Paulus, yang wafat 20 abad lalu meyakinkan kita akan adanya kegembiraan di alam kekekalan, “Selanjutnya kami tidak mau, saudara-saudara, bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang meninggal, supaya kamu jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan.”
Dukacita memang tidak hilang, tapi saya percaya, suatu saat akan ada reuni nan indah dengan dua perempuan terkasih itu. Saat kami datang mendekat, memeluk, dan menjawab misteri itu sembari bersenandung,
“Mother, how are you today?
Mother, don’t worry, I’m fine.
This time there will be no delay.
Mother, how are you today….”
Sebagai pertanda anak yang berbakti kepada orang tuanya,…..atas nama pribadi dan keluarga,turut berduka cita sedalam-dalamnya, Mas…..
Maaf, saya mau tanya apakah almh ibu Titik dulu pernah mengajar bahasa Jerman di SMA Bopkri 1 sekitar tahun 1983?
bener, mas…
Saya yakin kamu adalah menantu yang baik, karena kamu juga anak yang baik. Istilah lainnya adalah anak yang shalih.
Barusan nemu blog ini setelah searching2 di google…turut berduka atas berpulangnya Bu Titik, seorang guru dan ibu yg dulu dulu begitu dekat dengan murid2nya (termasuk saya). Masih ingat saat saya menyanyikan sebuah lagu berbahasa jerman dan langsung ditanya itu lagu apa? Ternyata artinya mendekati ke pornografi (maaf bu…gak tau soalnya 🙂 )
Saya yakin ibu sudah sangat berbahagia di sisi-Nya dan selalu mendoakan anak2nya untuk menjadi yang terbaik.
Salam buat keluarga mas…
-donnie, 4bhe 96-99
bu titik…guru sosiologi ku d patbhe.. semoga tenang disana bu..