Memori anak kecil begitu kuat. Semangat Garuda akan membawanya memenangkan kehidupan.
Bukan tanpa alasan saya mengajak Einzel menonton film “Garuda di Dadaku 2” di hari-hari awal pemutarannya di gedung bioskop. Dari film garapan KG Production berdurasi 99 menit ini, kita belajar tentang banyak hal: nasionalisme, kerja keras, persahabatan, keharmonisan keluarga, dan lain-lain.
Sosok Bayu –diperankan Emir Mahira- kini beranjak dewasa, menjelang 15 tahun. Jam terbangnya bermain bola pun semakin tinggi. Menghadapi kejuaraan ASEAN di Jakarta, ia bertekad membawa Indonesia juara. “Sudah 20 tahun kita tak jadi juara di event ini,” kata Bayu. Ah, ini mengingatkan pada nestapa SEA Games bulan lalu. Timnas U-23 gagal mewujudkan mimpi meraih medali emas, yang terakhir dipersembahkan Sudirman dkk di Manila 1991.
Garuda di Dadaku menjadi menarik karena beberapa hal, setidaknya seperti saya lontarkan dalam twit saya.b Bagian awal film dibuka dengan dipecatnya pelatih timnas (Dorman Borisman) karena menolak perintah pengurus mengerahkan anggota timnas untuk makan-makan dengan petinggi partai. Hahaha… ingat kunjungan tim Piala AFF ke rumah Ketua Umum Partai Golkar di Jl. Ki Mangunsarkoro Menteng pada akhir 2010 silam?
Mungkin masih terilhami fenomena AFF 2010, Bagian menarik lain film “Garuda di Dadaku 2” saat pelatih timnas yang baru, Wsnu (Rio Dewanto) mengusir wartawan yang mengerubuti Bayu, Yusuf, Rama, dan kawan-kawannya. Sang pelatih berteriak tefas, “Kalian itu bermain bukan untuk jadi artis infotainment!” Hehehe.. sepakbola memang bisa melahirkan para pelakonnya menjadi bak artis, tapi jangan lupa, tujuan utama seorang pemain berada di profesi ini adalah untuk meraih kemenangan di lapangan, dan bukan jadi pesohor.
Asyik juga saat menengok kesamaan film “Garuda di Dadaku 2” dgn realitas sepakbola Indonesia sebenarnya? Kita punya pemain Papua sebagai kunci! Yap, penendang penalti penentu saat melawan Malaysia di semifinal berasal dari seorang pemain asal Papua. Tentu kita tak lupa pada sosok Boaz Salossa yang mulai menonjol pada Piala AFF 2004, Oktovianus Maniani pada Piala AFF 2010, serta duo Patrich Wanggai-Titus Bonai di SEA Games 2011. Sebagai pencetak talenta andal sepakbola Indonesia, Papua memang dahsyat….
Dan akhirnya, “Garuda di Dadaku 2” ditutup dengan terangkatnya Piala ASEAN Junior oleh duo Bayu dan Yusuf. Yang unik, mereka memenangkan partai final melawan Thailand setelah pemain cadangan bernama Effendi dimainkan. Effendi sebelumnya disebut sebagai “pemain titipan” pengurus PSSI, yang membuat pelatih Wisnu bersitegang dengan para petinggi federasi sepakbola Indonesia itu.
Mimpi masa depan
“Garuda di Dadaku 2” mengajarkan mimpi tentang kemashyuran sepakbola Indonesia. Mimpi yang hampir membuat kita terjaga pada Piala AFF 2010 dan SEA Games 2011 lalu. Seratus ribu penonton hadir di Stadion Utama Gelora Bung Karno di partai puncak, demi satu harapan: menyaksikan Indonesia Juara.
Sayang, mimpi itu belum terwujud. Kapankah kisah Bayu Purnomo Jati dan Yusuf Matutu kita nikmati dalam kehidupan “real show”? Akankah generasi Einzel membawa kita ke arah itu, saat sepakbola kita konon ingin mengutamakan pembinaan jangka panjang dan bukan secara instan? Jadi, apakah jawabnya pada SEA Games Singapura 2015? Piala Dunia 2022 di Qatar? Atau harus menunggu lebih lama lagi?
Terngiang teriakan coach Wisnu saat memimpin latihan berat Bayu dan kawan-kawan yang lokasi shootingnya diambil di pegunungan kapur Dawuan, Cikampek, “Rumusnya jelas: sepakbola butuh kerja keras!”