Kenangan 30 jam mengunjungi negeri Sultan.
Hassanal Bolkiah dikenal sebagai pemimpin kaya raya yang rendah hati.Setiap Jum’at, yang merupakan hari libur kerja di Brunei, Bolkiah berkeliling dari satu masjid ke masjid lain, menunaikan salat sekaligus menemui warga yang rindu berjabat tangan dengannya.
“Sultan Bolkiah tak suka aturan protokoler. Saat Salat Jum’at pun beliau mengemudikan sendiri mobilnya,” kata Sekretaris Pertama Kedutaan Besar Indonesia untuk Brunei, Tjoki Aprianda Siregar. Ia pun mengenang peristiwa emasnya, bersalaman dengan Sultan saat baru dua pekan bertugas di Brunei.
Tak banyak orang tahu, salah satu orang terkaya di dunia itu memiliki lisensi penerbangan internasional. “Dalam banyak kesempatan, beliau sendiri yang membawa pesawat atau helikopter menuju tempat tugas,” tutur Tjoki. Bahkan, menurut cerita Tjoki, ketika Distrik Temburong dilanda banjir besar, Sultan menyetir sendiri police boat untuk menengok warganya ke distrik yang berjarak sejam perjalanan laut dari Bandar Seri Begawan itu.
Tak lebih 30 jam mampir di Brunei, berbagai kenangan indah terlukis. Tak lupa saya menyempatkan pelesir ke Kampung Ayer. Seorang rekan dari Australia pernah berpesan, “Jangan ke Brunei kalau tidak ke Kampung Ayer.” Untuk menuju kawasan wisata andalan Brunei itu, perjalanan ditempuh dengan perahu motor dari tepi Sungai Brunei, yang bermuara di Laut Cina Selatan.
Saya pun sempat terlibat alotnya tawar-menawar harga dengan Haji Supri, seorang penjaja jasa perahu motor. Akhirnya kami menyepakati harga sepuluh ringgit untuk ongkos berpusing-pusing selama 30 menit mengitari Kampung Ayer.Ia memekik meneriakkan harga dari atas perahu yang mengapung di air, sedangkan saya membalas menawar dari sebuah dermaga di Bandar, tak jauh dari monumen peringatan 60 tahun usia Sultan Hassanal Bolkiah.
“Assalamualaikum,” kata Supri sembari mengulurkan tangannya saat saya berjingkat turun ke perahu motor senilai 2.000 dollar Brunei miliknya. Sejurus kemudian, kami sudah membelah gelombang hingga menyusup di bawah kayu rumah panggung yang dihuni lebih dari 30 ribu jiwa. Pria 39 tahun dengan tujuh anak yang sehari-hari berprofesi sebagai petugas pemadam kebakaran itu terus bercakap menujuk kampungnya, sekolah, proyek, saluran air, hingga halaman belakang Istana Nurul Iman yang tertutup hutan bakau. “Brunei aman, Pak. Tak ada gaduh di sini,” kata Supri membanggakan negerinya.
Ikon wisata
Kampung Ayer memang ikon istimewa bagi Bandar Seri Begawan. Kultur hidup di atas sungai membuat mereka tak beda laksana warga Kalimantan lain, yang bermukim di atas Sungai Mahakam, Kapuas, dan Barito. Tapi, jangan salah, penduduk Kampung Ayer tak bisa dipandang rendah secara ekonomi. “Rata-rata mereka punya kereta (mobil), tak jarang di antaranya jenis sport Lamborghini. Mobil-mobil itu diparkir di darat, di sekitar pemakaman yang memang dikhususkan bagi warga Kampung Ayer,” kata Bambang Tuharno, leaki asal Madiun yang kini menjadi anggota staf bagian penerangan di KBRI Brunei.
Puas berkeliling di Sungai Brunei, Supri menurunkan saya tepat di depan Pusat Latihan Kesenian dan Pertukangan Tangan Brunei (PLKPTB), semacam galeri seni kerajinan, di Jalan Residency Bandar Seri Begawan. Selain menawarkan aneka karya seni, PLKPTB membuka lima jenis kursus, yakni tenunan, pertukangan perak, seni ukir dan keris, pertukangan tembaga, serta anyaman dan songkok.
Gedung itu terdiri atas beberapa bagian, termasuk Dewan Pameran dan Jualan yang ada di lantai dasar dan lantai satu. Barang seni yang ditawarkan aneka rupa, mulai kartu pos seharga 40 sen, asbak seharga 184 dolar Brunei (sekitar Rp 1, 2 juta), mainan perak cangkok lubang (di Jawa kita menyebutnya dakon) 345 dolar Brunei (Rp 2,24 juta), hingga hiasan perak berbentuk gong senilai 2.070 dolar Brunei, atau sekitar Rp 13,46 juta!
Catatan ini dimuat di rubrik Perjalanan Koran Tempo Minggu, 2 Maret 2008.