Menghirup udara Hong Kong, meski tak boleh keluar bandara.
Good Morning, Hong Kong! Dalam perjalanan panjang menuju Amerika, pagi ini saya transit sekitar 5 jam di Hong Kong International Airport. Tak bisa keluar bandara, karena selain saya tak paham Hong Kong, juga mesti berurusan dengan administrasi transfer pesawat dari Cathay Pacific ke Deltas Air Lines. Pindah counter check-in di bandara semegah ini saja sudah membingungkan, mesti menggunakan kereta tanpa masinis, yang mereka sebut sebagai automated people mover. Belum lagi, bahasa Inggris khas dialek Hong Kong kadang membuat frustrasi, terutama saat keluar jawaban, “I am not sure, i am not sure…”
Bagaimanapun, untuk orang yang terhitung jarang bepergian seperti saya, bisa menginjak Hong Kong sudah sebuah sejarah. Meski belum berkesempatan main ke apa itu yang disebut Kowloon atau Victoria Park. Konon, airport yang sebelumnya bernama Chek Lap Kok ini pada 2011 tercatat sebagai bandara tersibuk kesepuluh di dunia, dengan Bandara Soekarno Hatta ada di posisi kedua belasnya. Mempekerjakan 60 ribu karyawan, Hong Kong International Airport melayani 90 maskapai, menerbangkan para penumpang ke lebih dari 150 kota tujuan di berbagai belahan dunia. Tahun 2010, lebih dari 50 juta penumpang terbang dan singgah dari bandara seluas 12,48 km² yang 25% dari luas itu merupakan hasil reklamasi dua pulau: Chek Lap Kok dan Lam Chau.
Bicara bola di Hong Kong
Tapi, baiklah, saya tak bicara tentang dunia sempit saya di bandara akbar ini. Saya hendak bicara bola saja, sesuai dengan novel “Sebelas Patriot” yang menemani dari perjalanan Cengkareng ke Hong Kong. Buku terbaru Andrea Hirata setebal 108 halaman ini menggugah nasionalisme, berkisah tentang impian anak muda untuk mengagungkan PSSI, sebagai tim pujaan nomer satu di hati.
Fiksi ini berkisah tentang kekaguman Ikal pada ayahnya, yang pada era kolonialisme menjadi pemain bola hebat di usia remaja. Bermain sebagai sayap kiri, ditunjang dua kakaknya yang menempati posisi playmaker dan kanan luar, prestasi tiga anak muda Belitong itu mengalahkan tim penjajah. Akibatnya, Belanda naik pitam, mereka dibuang ke luar pulau, membangun proyek dermaga dan mercusuar, ditambah penyiksaan yang menghancurkan tempurung kaki kiri ayah Ikal. Di usia muda, tamatlah riwayatnya bermain bola, yang kemudian melecut niat Ikal masuk timnas PSSI, meski berakhir hanya sebagai peserta seleksi tingkat provinsi di Palembang.
Beda dengan kisah heroik di buku terbitan Bentang itu, hari-hari ini prestasi sepakbola Indonesia berada di titik nadir. Tampil dengan pemain muda kelas dua, timnas Indonesia tertunduk malu usai dicukur 0-10 Bahrain di pertandingan terakhir Pra Piala Dunia 2014 Grup Asia. Memang, apapun hasilnya tak akan membuat Indonesia lolos ke Brasil, tapi kalah dengan jumlah gol sebanyak jari tangan itu kian mencoreng persepakbolaan Indonesia, yang tak juga menyelesaikan krisis internal, buah pertarungan para saudagar.
Ironis, karena justru di negara yang tengah saya duduki inilah Indonesia baru menanam harapan atas prestasi pemain-pemain mudanya. Awal tahun ini, Indonesia U-17 sukses menjuarai HFKA International Youth Football Invitation Tournament 2012. Diperkuat, Eriyanto, mantan kapten tim Milan Junior Indonesia yang belakangan kembali jadi penggembala kambing di Sukabumi, Garuda muda jadi kampiun di Hong Kong setelah memecundangi tim tuan rumah 1-0, Macau 4-1, dan Singapura 3-1.
Baiklah, saya hendak melanjutkan long haul flight dari Hong Kong ke Detroit, dijadwalkan 14 jam 40 menit, menembus mundur perbedaan waktu. Semoga, dalam tidur di coach Delta Airlines nanti bisa bermimpi indah tentang sepakbola kita. Dan, bangun-bangun sudah terjaga di sebuah negara, yang tak punya tradisi bola, tapi sukses menggelar hajatan Piala Dunia 1994 silam.
jare awakmu ngenteni Liverpool? #bingung..
Dahsyat! Aku tetap menyukai caramu mendiskripsikan sesuatu. Maju terus Jojo,.. Salam untuk Obama