Orlando, Florida: Game Change!

Politik tidak serumit yang Anda bayangkan, tapi bisa jadi jauh lebih rumit dari yang Anda bayangkan.

Poster film Game Change. Pesona Sarah Palin di Pilpres 2008.

Saya beruntung ada di Amerika Serikat pada pertengahan Maret ini, saat film Game Change dirilis perdana ke layar gelas. Senin (12/3) malam, sendirian di kamar hotel, saya menonton film yang dibuat khusus untuk konsumsi pemirsa HBO ini. Sebagai sebuah drama politik, Game Change memfokuskan pada sosok Sarah Palin (diperankan Julianne Moore) saat tampil sebagai kandidat wakil presiden mendampingi John McCain (dimainkan oleh Ed Harris) pada pemilu 2008 silam. Selain itu, film berlatar buku berjudul serupa ini juga mengangkat pentingnya peran ahli strategi kampanye, sebagaimana saat itu dilakukan Steve Schmidt (dalam film ini dilakoni apik oleh Woody Harrelson).

Game Change dapat banyak kritik maupun pujian, meski baik Palin maupun McCain sendiri mendeskripsikannya sebagai “cerita fiksi yang tak akurat”. Banyak pelajaran menarik didapat dari film ini, terutama bagaimana besarnya peran pakar komunikasi politik di balik sebuah tim kampanye.

Dikisahkan, peta permainan Pilpres 2008 berubah saat Partai Republik menunjuk cawapres perempuan sebagai pendamping kandidat presiden McCain. Awalnya Gubernur Alaska Sarah Palin benar-benar ancur saat menghadapi pertanyaan pers, dan dalam aneka simulasi menjelang debat televisi. Bahkan Palin sempat bertengkar hebat dengan para tukang poles politiknya saat ia merasa diatur-atur, “I am not your puppet!” teriak Palin sambil membanting telepon selulernya hingga berantakan membentur tembok.

Begitulah, hingga naik turunnya cerita berakhir dengan penampilan memesona Palin berkampanye mendampingi McCain, serta saat ia sukses besar dalam debat kandidat wapres melawan Joe Biden. Hasil akhir Pemilu 2008 sudah sama-sama kita ketahui: Obama-Biden terpilih sebagai Presiden dan Wapres AS dengan perbandingan suara electoral vote 365 versus 173.

Hubungan antara seorang kontestan pemilihan pemimpin pemerintahan dengan tim suksesnya mengingatkan saya pada kisah seorang konsultan komunikasi politik. Dalam sebuah seminar, konsultan ini membuka kunci suksesnya menangani kandidat pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2007. “Sudah, saya ini mau diapakan, terserah Mas saja. Pokoknya, saya jadi wayangnya saja deh,” kata sang kandidat, yang meski akhirnya kalah, tapi penampilan kampanye dan perolehan suaranya tak mengecewakan.

Sebaliknya, tukang poles jago pemilu ini pernah mengeluh dapat klien yang begitu keras kepala. Sampai-sampai ia memberi julukan khusus, “Jenderal Sukardi”. Saat sang klien bertanya apa arti nama itu, dijawabnya, “Bapak benar-benar Jenderal Sukar-Di, alias Sukar Diatur.”

Belajar politik di kampus

Tempat kongkow mahasiswa Republik. Berpolitik di kampus, siapa takut?

Rangkaian acara International Visitor Leadership Program (IVLP) 2012 bertema Changing Face of Campaign Coverage kembali menuju ke kampus. Selalu ada gejolak istimewa saat saya masuk kampus. Rasanya jadi terasa muda dan terus haus ilmu, mood yang sama terasa saat tahun lalu mengajar di UKI, maupun saat menuntaskan S-2 di Universitas Mercu Buana saat ini.

Berbeda dengan pengalaman ke kampus Maryland yang diisi diskusi dengan profesor komunikasi serta sempat ikut kelas di laboratorium jurnalistik, Senin kemarin kami bertemu dengan profesor politik University of Central Florida (UCF). Yang asyik, setelah berbincang soal politik, kami dapat acara bebas bertemu mahasiswa di Student Union, ya anggaplah semacam markas Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).

Student Union alias Pusat UKM. Markas kegiatan olahraga, kerohanian, kesukuan, sampai politik.

Di taman depan Gedung Student Union, tampak aneka booth kegiatan mahasiswa, seperti Bhakti Yoga Club, Donasi Kemanusiaan untuk Badan PBB, Pusat Kerohanian, sampai lembaga pencinta kehidupan yang membagi kondom gratis di standnya. Tapi, tujuan kami secara khusus mengintip bagaimana kegiatan politik mahasiswa UCF. Kami pun berbincang dengan dua kubu: College Republicans dan College Demokrat. Dua pilar partai politik ini bersaing merebut hati mahasiswa, mengingatkan teman-temannya untuk memilih pada 6 November nanti, serta mendukung kandidat presiden dari partai mereka. Tak cukup etis disebutkan di sini, tapi salah satu booth kelompok itu memasang buku propaganda yang isinya mengejek presiden dari partai lawan.

Politik memang sekilas rumit, tapi kalau dinikmati, bisa jadi asyik dan mengubah permainan kehidupan. Game Change!

Salam Selasa subuh dari kamar hotel Embassy Suites, Orlando.

0 Replies to “Orlando, Florida: Game Change!”

Leave a Reply

Your email address will not be published.