Berkicau alias nge-twit adalah bagian dari kebebasan berekspresi.
Ada-ada saja kerjaan pengurus sepakbola kita. Baru-baru ini, PT Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS) melaporkan pemain PSIS Semarang Donny Fernando Siregar karena menilai ‘kicauan’ pemain itu melecehkan liga. Bulan April lalu, lewat akun twitternya (@DonnyFS27) pemain tengah tim Mahesa Jenar itu dianggap menghina kompetisi Divisi Utama. PT Liga tersinggung karena kicauan Donny –belakangan dihapus- berbunyi, “Haha, laehole, itu sejarah tarkam dapat bayaran terbesar dalam hidupku nantulang, hahaha”. Tak terima disebut sebagai liga antar kampung (tarkam), PT Liga Prima pun melaporkan Donny ke Komisi Disiplin PSSI.
Belakangan, sebagaimana dimuat Tempo Interaktif, Komisi Disiplin tidak menemukan ada penghinaan terhadap Divisi Utama dan LPIS. Menurut Wakil Ketua Komdis PSSI Catur Agus Saptono, setelah melakukan konfirmasi langsung ke Donny, kata “tarkam” tidak merujuk kepada kompetisi Divisi Utama LPIS, melainkan pertandingan antarkampung (tarkam) di Kampung Sidikalang Daera, dekat Tapanuli utara pada 17 Agustus 2011
“Ia mengaku pernah main di sana dan dibayar Rp 1,5 juta. Itu yang ia maksud sebagai bayaran tarkam termahal yang pernah ia peroleh. Bukan Divisi Utama,” kata Catur. Dalam pertandingan tarkam itu, Donny mengaku diajak teman yang sama-sama berasal dari Sumatera Utara dan juga diikuti Saktiawan Sinaga, mantan penyerang timnas yang saat ini bermain di Mitra Kukar di Liga Super indonesia.
Dilihat dari histori akun twitternya, Donny termasuk aktif berkicau. Ia memiliki 867 followers dan mencatat lebih dari tiga ribu twit. Sosoknya yang periang, khas Batak, tampak dalam profilnya yang hanya menjelaskan keterangan identitas dirinya sebagai ‘penjual sayur, dari Medan’. Tampil mengenakan kostum Barcelona, pemain yang baru saja melepas masa lajangnya ini rajin menjawab mention dari para pengikutnya, Tak jarang kicauan pemain yang pernah memperkuat PSMS Medan dan Persijap Jepara ini membuat orang tak bisa menahan senyum. Apalagi, banyak kicauannya keluar dalam bahasa Batak. Suatu saat misalnya, Donny pernah nge-twit “Enak bngt mkn di mess PSIS skrg,ini br makanan pemain bola, bkn kyk dulu makanan pake toples kyk jatah penjara aja ahahahahha”
Nge-twit dan UU ITE
Twitter adalah ungkapan hati seseorang. Tapi, menjadi masalah saat ucapan itu dikeluarkan dalam ruang publik –dalam hal ini internet yang bisa dilihat semua orang di seluruh dunia, dan ada yang tersinggung karenanya. Tentu tak lupa kisah saat Ryan Babel didenda 10 ribu pounds oleh FIFA pada Januari 2011 setelah memasang tautan yang memperlihatkan wasit Inggris, Howard Webb, mengenakan kostum Manchester United. Sebagai tambahan tautan kepada followernya, Babel yang kala itu bermain untuk Liverpool, juga menulis, “Dan mereka menyebutnya salah satu wasit terbaik. Itu adalah lelucon.” Twit itu dikirimnya setelah Webb mengusir kapten Liverpool, Steven Gerrard, ketika Si Merah kalah 0-1 dari United di Piala FA. Meski tak lama kemudian gambar itu dihapus, Babel tetap mendapat hukuman denda uang, yang kalau dirupiahkan jumlahnya bisa untuk membeli mobil Toyota Avanza bekas.
Dari Liverpool pindah ke Bundesliga dan memperkuat Hoffenheim, Babel kena masalah serupa usai diusir wasit Thorsten Kinhoefer. Pemain berusia 25 tahun itu menulis, “Saya tidak tahu, saya pikir wasit menggunakan obat-obatan,” kata Babel di akun twitternya usai mendapat akumulasi kartu kuning dalam pertandingan yang berbuah kekalahan 1-3 Hoffenheim dari Hertha Berlin.
Sejak empat tahun lalu, kita telah memiliki Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) nomor 11 Tahun 2008 yang ironisnya dipakai menjerat persoalan pencemaran dalam jejaring sosial ini. Seringkali sangkaan kepada para ‘pencemar’ nama baik akibat seruan di sosial media berlandaskan pasal 27 ayat 3 UU ITE, sebagaimana pernah dijeratkan kepada Prita Mulyasari, yang berbunyi
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Tapi, saat situasi sepakbola sedang butuh pembenahan, banyak klub lagi prihatin karena tak memenuhi kewajiban keuangan kepada pemainnya, apakah perlu administratur Liga menuntut sang pemain hanya karena ocehannya di dunia maya? Jika hal-hal seperti ini dilanjutkan, bukannya membenahi masalah substansial tapi malah berbuat yang kontraproduktif dan cenderung mengalihkan isu, tak ada bedanya dengan ungkapan ‘buruk muka cermin dibelah’.