Setiap 9 Desember kita punya “hari raya” baru: Hari Anti Korupsi. Formalitaskah?
Setiap 9 Desember, Hari Anti Korupsi Internasional diperingati. Sejak beberapa tahun silam, mungkin sebangun dan sejalan dengan maraknya rasuah di negeri ini, Hari Anti Korupsi lebih bergema dibandingkan dengan Hari Hak Asasi Manusia, tetangganya pada 10 Desember. Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia dimulai sejak Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui Konvensi Anti Korupsi yang digelar UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) di Merida, Meksiko, 9-11 Desember 2003.
Sebegitu kroniskah korupsi di negara ini, pemilik peringkat ke-114 dari 177 negara dalam urusan Indeks Persepsi Korupsi? Saya teringat percakapan saya, dengan kawan sekerja, sekaligus atasan dari kantor di Australia, awal 2008. Duduk di atas batu di Pantai Mooloolaba, Quensland, saya memutar ulang cerita, saat duduk di bangku SMA di Surabaya. “Jadi, saat itu tahun ajaran baru. Setiap siswa mencatat buku-buku apa yang diperlukan pada tahun ajaran itu. Sekalian harganya,” kisahku.
Yang unik, beberapa kawan saya menulis harga buku, tidak sesuai dengan nilai yang ditentukan sekolah. Di-mark up. Misalnya, harga buku paket Bahasa Indonesia Rp 7.500 ditulis Rp 9.000, buku Sosiologi Rp 8.000 ditulis Rp 10.000 dan seterusnya. Korupsi diawali dari hal kecil. Korupsi diawali dari sekolah. Dan korupsi diawali di keluarga, kepada orangtua sendiri. Dan kawan saya, bule Aussie itu, geleng-geleng kepala…
Hari Anti Korupsi Internasional kali ini, Kompas TV menghadirkan Adnan Pandu Praja, mantan advokat yang kini menjabat Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Harusnya, kita itu memeringati Hari Anti Korupsi setiap hari,” kata Pandu.
Kompas TV kemudian memutar film “K vs K” (Kita Versus Korupsi), sekaligus mendatangkan Inne Febriyanti, salah seorang sutaradaranya. Film garapan Cangkir Kopi, kerjasama dengan KPK, TII, dan USAID ini bukan sinema yang diputar di bioskop, tapi khusus untuk kampanye anti korupsi. Terdiri dari empat sekuel, masing-masing punya cerita moral tentang perjuangan melawan korupsi. Dari zaman Orde Baru masih usia bayi, sampai era pelajar sekolah membawa gadget tercanggih.
Rumah Perkara (Sutradara: Emil Heradi) menceritakan Yatna (Teuku Rifnu Wikana), lurah, yang setuju menjual tanahnya kepada Jaya (Icang S. Tisnamiharja), seorang kontraktor. Halangannya adalah Ella (Ranggani Puspandya), janda yang tidak rela tanahnya dibeli. Terjadilah usaha-usaha, baik dari Yatna maupun anak buah Jaya, untuk mengubah niatan Ella.
Aku Padamu (Sutradara: Lasja Fauzia Susatyo) menceritakan Vano (Nicholas Saputra) dan Laras (Revalina S Termat) ingin menikah di luar sepengetahuan keluarganya. Sayangnya, tanpa kartu keluarga niat mereka urung terwujud. Seorang calo menawarkan jalan pintas, yang menciptakan dilema tersendiri di pasangan muda-mudi ini.
Selamat Siang, Risa! (Sutradara: Ine Febriyanti) menceritakan Arwoko (Tora Sudiro) berusaha hidup dan kerja secara jujur, walau teman-teman sejawatnya banyak melakukan korupsi. Tantangan muncul dalam wujud segepok uang pelicin, tepat ketika keluarganya terlilit kesulitan ekonomi.
Psssttt… Jangan Bilang Siapa-Siapa (Sutradara: Chairun Nissa) menceritakan Ola (Siska Selvi Dawsen) membeli buku pada Eci (Nasha Abigail) dengan harga yang cukup mahal. Gita (Alexandra Natasha) pun jadi penasaran, kenapa harga buku yang dijual Eci lebih mahal dari pada yang dijual di toko buku. Gita lalu iseng-iseng bertanya tentang asal muasal harga buku tersebut. Tak diduga hasil iseng-iseng tersebut malah membongkar adanya praktek korupsi beruntun yang dilakukan oleh banyak pihak di sekolah.