Kejadian luar biasa kasus difteri tidak main-main. Difteri merupakan jenis penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi di selaput lendir hidung dan tenggorokan, disebabkan oleh infeksi bakteri bernama Corynebacterium diphtheriae. Penyakit ini terbilang mematikan karena dapat menyebabkan infeksi nasofaring yang bisa berdampak kesulitan bernapas dan menyebabkan kematian. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menegaskan, dalam November-Desember ada 38 korban jiwa melayang akibat difteri.
Memasuki awal 2018, memang belum lagi ada laporan kasus difteri. Meski demikian, Kementerian Kesehatan menegaskan, kegiatan imunisasi akan diteruskan.
“Imunisasi terus dilakukan untuk memastikan kita imun,” kata Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, saat menjadi pembicara dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat 9 (FMB 9), yang digelar di Ruang Serbaguna Roeslan Abdulgani, Kantor Kemenkominfo, Jl Medan Merdeka Barat 9, Jakarta, Kamis, 12 Januari 2018.
Menkes juga menerangkan, pada Januari 2018, ditargetkan hingga 90 persen capaian. “Sekarang sudah hampir 65,12% kita lakukan imunisasi. Diharap di Januari bisa 90%. Kalau sebagian besar sudah diimunisasi, diharapkan pertahan dari masyarakat kita sudah kuat,” katanya.
Difteri memang harus dilawan dengan vaksin. Karena itu, sungguh menyesatkan kalau ada yang menyatakan bahwa imunisasi difteri tak boleh diterima, karena menganggap semua jenis vaksin mengandung minyak babi. Jelas, itu hoaks. Berita palsu.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan, bahwa pada dasarnya hukum imunisasi adalah boleh (mubah) sebagai bentuk ikhtiar untuk mewujudkan kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pun menekankan, difteri harus dilawan dengan vaksin. Tidak bisa dengan yang lain, termasuk pengobatan herbal atau apapun.
“Difteri ini ,engancam nyawa yg mengidapnya, juga bagi yang terkena sebaran bakterinya, karena itu harus ditangani segera dengan vaksin. Tidak cukup dengan obat, apalagi obat herbal,” kata Soedjatmiko selaku Sekretaris Satgas Imunisasi IDAI.
Ia menambahkan bahwa tiga negara yang pakar obat herbal pun seperti China, India, dan Amerika Latin mengakui bahwa obat herbal tak mampu menfatasi difteri. Harus dengan vaksin.
Soedjatmiko menambahkan, difteri sangat mudah menular, merusak tenggorokan, dan kerusakan itu menumpuk di tenggorkaan berupa membran putih tebal, dan meyumbat saluran pernapasan.
“Nanti akan berdampak tidak dapat bernafas. Yang kedua bakteri difteri itu mengeluarkan racun. Lalu racun akan menyebar yang salah satunya akan menyerang otot jantung. Maka jantung akan rusak. Itu bisa menyebabkan kematian,” jelas Soedjatmiko.
Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho menyatakan, ancaman kesehatan telah menjadi fokus utama oleh sejumlah negara di dunia. “Yakni, bagaimana pemerintah mewajibkan masuk sekolah dan pesantren dengan salah satu syarat kartu kesehatan dan imunisasi. Apapun ancaman itu akan ’kalangkabut’ kalau tidak ada koordinasi yang baik,” tegas Yanuar.
Karena itu, clear, begitu Kementerian Sekretariat Negara di lingkungan tempat saya bekerja menggelar suntik imunisasi difteri secara gratis, tak ada alasan bagi saya menolaknya. Tak sampai 15 menit, dari mengisi formulir, disuntik, sampai diplester di bekas luka, saya pun resmi mendapat suntikan difteri itu.
Mari menjadi teladan, mematuhi aturan dan kaidah yang ada, demi keselamatan kita dan keluarga sendiri. Alih-alih membuat berita palsu dan mencemaskan yang lain.
Sebagaimana ditayangkan di http://tz.ucweb.com/1_3j1NG