Hampir setahun tak ke Sumatera Barat, pekan lalu saya berkesempatan kembali menginjak Padang. Ini kedatangan keempat saya di kota terbesar di pantai barat Sumatera berpenduduk hampir sejuta jiwa. Tentu, Padang sudah jauh lebih berkembang, jauh lebih modern dibanding kedatangan saya pertama di sini, beberapa hari usai Gempa Bumi 2009.
Selalu menarik ke Padang. Macet tak terlalu. Kuliner juga selalu dicari -meski di Jakarta dan di hampir semua tempat di ujung bumi ini selalu ada saja Warung Padang. Tapi, tetap saja berbeda menyantap Nasi Kapau di kawasan Bandar Damar, Padang, dibandingkan di kawasan Pasar Senen, Jakarta Pusat.
Tahu Nasi Kapau, kan? Berbeda dengan Nasi Padang yang menunya standar, Nasi Kapau yang konon berasal dari sebuah los di pasar bawah Bukittinggi, lebih komplet dengan sayur gulai nangka, kacang panjang, dan lauk-lauk keciil. Nama Nasi Kapau konon diambil dari Nagari (Desa) Kapau di Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam.
Di Nasi Kapau juga ada gulai babat (cubadak), gulai tambusu (usus) berisi kombinasi telur, tahu dan bumbu-bumbu, rendang ayam, gulai ikan, gulai ayam, dendeng batokok, gulai tunjang (urat kaki kerbau atau sapi), gulai cangcang (tulang dan daging kerbau), gulai babek (babat) atau paruik kabau.
Datang ke Padang juga tak lengkap kalau tak menuju kawasan wisata budaya. Di Sumatera Barat lah kisah Malin Kundang dan Siti Nurbaya berasal. Kami pun menuju Pantai Air Manis, di sisi selatan Kota Padang. Dongeng Malin Kundang menjadi daya tarik pantai ini, sekaligus menanamkan pesan moral kepada generasi kekinian agar lebih menghormati orangtua, terutama saat kondisi ekonomi jauh lebih baik.
Padang -sering diartikan sebagai ‘Pandai Berdagang’- merupakan gudangnya para wirausaha alias enterpreneur. Datanglah ke Pasar Tanah Abang Jakarta, atau Malioboro, Yogyakarta, di sanalah penguasa toko-toko kain dikuasai orang keturunan Minang.
Di Padang sendiri, sudah lama beredar guyonan saat jiwa wirausaha mereka dibandingkan dengan etnis keturunan Tionghoa yang begitu agresif dan ekspansif dalam urusan berdagang. Orang Padang tak mau kalah. “Tidak. Justru urang Minang lebih hebat daripada teman-teman Tionghoa. Kami selangkah lebih maju dalam berdagang. Buktinya, satu langkah di depan toko-toko orang Tionghoa selalu ada lapak milik orang Minang,” kata mereka. Memang, orang bijak adalah mereka yang mampu menertawakan diri sendiri.
Datanglah ke Padang. Di sana ada gabungan antara bisnis yang terus berkembang -sudah ada gedung bioskop di sana, serta mall-mall baru bak jamur di musim hujan. Tapi, kekayaan alam serta budaya pun menjadi kekuatan tersendiri di Kota Padang, dan Sumatera Barat secara umum.
Inilah Indonesia, dan Sumbar menjadi salah satu etalase kekayaan alam dan budaya nan luar biasa dari nusantara tercinta.
Seperti ditayangkan di http://tz.ucweb.com/2_3J3Ef