Surat Balasan untuk Presiden Persebaya: Bonek Berterimakasih, Tetap Ingin Dimanusiakan

CAK Aza, atau Mas Ulik… saya masih ingat benar adegan sore itu. Saat itu saya masih bekerja sebagai Tenaga Ahli Madya Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Pusat Presiden. Sehari-hari bertugas meliput, menulis, dan menyebarkan kegiatan Kepala Staf Kepresidenan yang kala itu dijabat Kang Teten Masduki.

Rabu, 6 September 2017, sore. Tak ada lagi jadwal Kang Teten yang harus saya liput. Santai-santai saja, menunggu waktu pulang kerja sembari menanti macet ibu kota Jakarta jam pulang kantor.

Tiba-tiba di pintu kaca Bina Graha, bekas gedung tempat Presiden Soeharto dulu berkantor, saya bersirobok dengan Ang alias Nanang Prianto. Pria asal Malang Selatan yang saat itu menjabat Wakil Pemred Jawa Pos ini sangat akrab. Kami pernah sama-sama meliput Persebaya era juara Liga Indonesia 2004.

Sama-sama ‘menggelandang’ di Karangggayam dan Tambaksari, menyaksikan pemain-pemain macam Christian Carrsco, Danilo Fernando, Gendut Doni, Kurniawan Dwi Julianto, Hendro Kartiko, Uston Nawawi dan lain-lain, mengalami pasang surut prestasi hampir setahun penuh.

Musim 2004, musim yang sangat roller-coaster. Pernah kalah di Gelora 10 November dari PSS Sleman yang diasuh Daniel Roekito. Pernah kalah dari Persela 0-1 juga di Tambaksari, yang berujung rusuh di G10N. Termasuk teriakan manajer Saleh Mukadar, yang menyesalkan kenapa tetap kalah padahal sudah mencoba “mendekati” perangkat pertandingan.

Kembali ke Bina Graha. Saya kaget, melihat Nanang bersama Sampeyan. Ketika saya tanya apa maksud jenengan berdua datang ke KSP, dan ternyata ada janji bersua Kang Teten. Tanpa pikir panjang, langsung saya antar ke lantai dua. Ruang kerja Kepala Staf Kepresidenan, yang dulu tempat kerja sehari-hari Pak Harto menerima menteri.

Dalam pertemuan sekitar sejam itu, tersela Kang Teten Salat Magrib sejenak, sampeyan begitu membanggakan transformasi Bonek alias ‘Bondo Nekat’ -sebutan penggemar Persebaya yang dilahirkan oleh Bapak Jenengan, Pak Dahlan Iskan nan terhormat.

Bonek telah berubah. Itu kata Jenengan ke Kang Teten, sambil menunjukkan posting video di Instagram ke orang dekat Jokowi yang kini menjabat Menteri Koperasi dan UKM itu. Sampeyan menjelaskan, dalam era ‘reborn’ atau kebangkitan Persebaya ini, Bonek tak lagi rasis, melakukan kekerasan, dan memiliki kesadaran tinggi untuk membeli tiket setiap pertandingan.

Persebaya yang kala berlaga di Liga 2 tercatat sebagai tim dengan rataan jumlah penonton tertinggi, bahkan melampaui tim-tim Liga I. Istilah Bonek pun sudah berubah menjadi ‘Bondo Nekat dan Kreatif’.

“Kalau ada sekelompok suporter bernyanyi rasis atau merendahkan tim lawan, sontak ribuan Bonek lain akan mem-boo dan meminta mereka diam,” kisah Sampeyan. Dengan bangga, Sampeyan menekankan manajemen baru, bahwa Persebaya berhasil mengubah karakter Bonek, suporter Persebaya yang selama ini menimbulkan stigma negatif bagi masyakarat.

“Apa yang kini dialami Persebaya dan Bonek merupakan revolusi mental dalam arti sebenarnya,” papar sampeyan, menyitir istilah yang dipopulerkan Presiden Jokowi itu.

Dua tahun lebih setelah peristiwa itu, kini Bonek bungah bukan main. Setelah juara Liga 2, yang dicapai beberapa saat setelah sampeyan bertemu Kang Teten itu, pada 2018 Persebaya mengawali comeback musim pertama di Liga 1 dengan nangkring di 5 besar.

Sementara pada akhir tahun in, Persebaya sukses jadi runner-up dengan selisih 10 poin di bawah sang juara Bali United. Persebaya sempat punya empat pelatih sepanjang musim Liga 1 2019. Sahabat saya, Dhion Prasetya, seorang Aparatur Sipil Negara yang kini bangga disebut sebagai ‘kamus hidup’ alias pakar statistik Persebaya punya catatan lengkapnya.

Menurut Dhion, Djajang Nurdjaman -meneruskan kontrak dari musim sebelumnya- punya rekor 13 kali main, empat kali menang, enam seri dan tiga kalah dengan catatan 19 gol memasukkan dan 17 gol kebobolan.

Memecat Djanur usai ditahan imbang 2-2 oleh Madura United di Gelora Bung Tomo, Persebaya sempat ditangani sang legenda Bejo Sugiantoro. Bejo sempat meng-handle Ruben Sanadi dkk selama delapan pertandingan dengan tiga kali menang, tiga imbang dan dua keok. 13 gol masuk dan enam gol kemasukan.

Berencana mendatangkan mantan pelatih timnas Alfred Riedl, Persebaya nyatanya cuma didampingi sang sekondan, Wolfgang Pikal dalam empat kali pertandingan. Rekornya buruk: tak pernah menang, sekali seri dan tiga kalah. Tiga kali memasukkan dan delapan gol bersarang.

Hingga datanglah sang legenda juara lain: Aji Santoso. Pelatih cerdas yang ‘dibuang’ Arema dan Persela. Persebaya mengambilnya dari Yogyakarta. Aji memilih mundur dari PSIM Yogyakarta di Liga 2. Berada di Persebaya untuk kontrak hingga 2020, Aji punya kesempatan 9 kali laga.

Dan luar biasa hasilnya. Tujuh menang, dua imbang, tanpa kalah. Padahal jatah laga home, kalau tidak dijalani di Stadion Batakan Balikpapan, ya di Stadion Gelora Bung Tomo tapi tanpa penonton. Tanpa riuh-rendah BONEK, komunitas suporter penggila Persebaya dalam suka dan duka. Yang namanya seolah pantang Anda sebutkan.

Persebaya mengakhiri musim di urutan kedua. Memenuhi target ‘lebih baik daripada musim lalu’. Jadi, kalau mau musim depan lebih baik dari musim ini, mau posisi berapa lagi di atas urutan kedua? Tidak ada jawaban lain memang.

Lalu hari ini, datanglah tulisan itu di situs resmi Persebaya. “Kita Punya Problem Home”, tulis Sampeyan. Seharusnya memang kita bersyukur. Seperti alinea awal tulisan Sampeyan. Tapi jika kemudian BONEK -yang tak sekali pun disebut itu- terus jadi bahan cibiran, maka sama seperti terus mengajak perang pada sang pendukung setia. Sekalipun Sampeyan menyebutnya sebagai customer.

Di Balikpapan saat menjamu Semen Padang pada partai usiran, saya bertemu seorang Bonek. Boby Kharisma, pria asal Dupak, sehari-hari bekerja sebagai surveyor kapal di Tanjung Perak, mengaku hampir selalu menonton Persebaya di mana pun. Sebisa mungkin dia terbang.

Juga Bonek-bonek lain, yang menabuh drum di luar pagar stadion. Demi berharap tabuhan dan nyanyiannya didengar para pemain, sehingga melecut semangat berbuah tiga poin bagi Persebaya. Mereka melakukan itu kala Bajol Ijo menjamu PSM Makassar, Semen Padang dan Arema Malang.

Mereka-mereka ini lah roh BONEK. Anak muda hingga setengah tua yang sampai kiamat mencintai Green Force -demikian tertulis dalam spanduk besar itu. Mereka yang ‘Kebacut Tresno’ dalam ‘Emosi Jiwa’ amat tinggi, namun entah dosa apa, tak pernah disebut dalam tulisan Sampeyan, secara peyoratif Sampeyan ganti dengan kata ‘penggemar Persebaya’.

 

 

Cak Aza, atau Mas Ulik… sepertinya musim baru akan berlangsung lebih cepat. Maret 2020. Dengan turnamen pramusim digelar dalam Januari atau Februari. Para BONEK berterimakasih atas happy ending musim 2019 yang tak kalah roller-coaster dibandingkan 2004.

Tapi, dulur-dulur Bonek semua, juga merasa ingin dimanusiakan. Tak melulu diungkit terkait pitch invasion yang berujung pada denda puluhan atau ratusan juta bagi kas klub. Dulur-dulur BONEK sangat respek pada Sampeyan.

Sebuah pesan masuk ke ponsel saya, berisi harapan, agar setelah mendapatkan juara dua pada musim 2019, Sampeyan tidak tiba-tiba bangun tidur di pagi hari dan merasa jenuh mengurus Persebaya. Ujungnya, menjual klub tercinta ini pada pengusaha antah-berantah.

Cak Aza, atau Mas Ulik… dulur-dulur BONEK cuma ingin dimanusiakan. Setidaknya disebut dalam tulisan, sapaan, atau mungkin igauan Sampeyan.

* Jojo Raharjo, Bonek perantauan di Jakarta

sebagaimana ditayangkan di

https://jatimnet.com/surat-balasan-untuk-presiden-persebaya-bonek-berterimakasih-tetap-ingin-dimanusiakan

Leave a Reply

Your email address will not be published.