Saat Jokowi menjadi Wali Kota Solo, ia mencetuskan tagline keren: Solo masa depan adalah Solo masa lalu. Solo masa lalu adalah Solo masa depan. Karena itu, Jokowi pun gencar melestarikan heritage, bangunan tua, jalanan lawas, trem, dll. Juga pabrik es fenomenal itu.
Kalau Anda pernah ke Amrik atau beberapa tempat di Eropa, tampaklah bahwa keagungan masa lalu adalah jualan destinasi turisme. Bukan kemudian dilindas, digantikan bangunan modern.
Kini, Semarang di bawah Gubernur Ganjar dan Wali Kota Hendi pun menerapkan hal serupa: revitalisasi cagar budaya aset berharga daerah. Jadi, tak salah dong dalam transit kami yang cuma sejenak saat liburan ini mampir ke kebanggaan lawas tapi anyar ibu kota Jawa Tengah itu.
“Kalau di Semarang nyebutnya Kota Lama, Mas. Kalau Kota Tua kan Jakarta,” kata driver taksi online yang membawa kami dari Hotel Wimarion ke kawasan Gereja Blenduk.
Rame sih. Banyak ‘pengamen modern’ kayak di luar negeri, menghibur dengan biola dan saksofon lalu membuka kotak sumbangan seikhlasnya. Juga seniman instalasi bagi yang mau selfie. Mirip-mirip di Kilometer Nol Jogja atau Dam Square, alun-alun kota Amsterdam.
Kalau pun erlu pembenahan: tempat duduk untuk lokasi makannya masih kurang. Beberapa kali kami ‘berebut’ -dan tentu saja mengalah- memegangin kursi bakso plastik yang rupanya sudah di-‘tek’ orang lain.
Menjadi istimewa, karena beberapa hari setelah kunjungan kami, Pak Jokowi kemudian bersepeda pagi ke Kota Lama Semarang, hehehe…
Maju terus Semarang dan kota-kota lain di Indonesia yang menghargai peninggalan berharga tak ternilai. Kadang kita mesti berbesar hati mengakui: masa depan kita adalah masa lalu.