Maret 2005, kali pertama menginjakkan kaki di ‘Tano Niha’. Kala itu, menyertai rombongan pemberi bantuan akibat gempa bumi besar. Kini, kembali ke Nias yang tentu jauh lebih bersinar dan berhias.
“Kita akan terbang dengan ATR 72-500 pada ketinggian 16 ribu kaki. Penerbangan ini dipimpin Captain Hary Gunawan, dengan durasi satu jam,” demikian sapaan pramugari Wings Air IW 1244 yang menerbangkan saya dan rekan-rekan kerja dari Bandara Kualanamu KNO, Deli Serdang, menuju Bandara Binaka GNS, Gunungsitoli, Nias, Minggu, 10 April 2022.
Sebelumnya, jam 7 pagi penerbangan perdana saya tempuh dari Jakarta CGK menuju Kualanamu KNO menggunakan ID 6830, Batik Air Boeing 737-800 NG.
Tujuh belas tahun silam, Tuhan izinkan kali perdana menginjakkan kaki di Nias. Saat itu, bandara Medan masih di Polonia. Terbang dari Surabaya, kemudian saya dan rekan-rekan dari Gereja Bethany Surabaya menempuh perjalanan mobil belasan jam menuju Sibolga. Dari Sibolga, kami lanjut menyeberang tujuh jam menuju Gunungsitoli. Misi saat itu: menyambangi Nias yang baru saja terguncang lindu hebat.
Foto di samping ini adalah oleh-oleh berpose di Sibolga, 2005.
Selain ikut menjadi korban tsunami dan gempa bumi Samudra Hindia 26 Desember 2004 dengan korban jiwa hingga 200 jiwa, Nias sempat terpuruk akibat gempa 8,7 SR pada 28 Maret 2005. Lebih seribu korban jiwa, dua ribu luka dan 60 persen bangunan roboh di Gunungsitoli, kota terbesar pilau ini.
Kini, kembali datang ke Nias. Tanah yang indah. Tentu banyak perubahan dalam hidup pascapandemi. Wastafel cuci tangan di Bandara Binaka, misalnya.
“Sudah banyak perubahan sejak gempa besar itu,” kata Kepala Bidang Tenaga Kerja pada Dinas Perdagangan, Ketenagakerjaan dan Koperasi Nias Barat Siti Berlian Giawa dalam chat dengan saya mempersiapkan acara di sini.
Di era Presiden Jokowi, Nias pun mengantarkan Yasonna Laoly, salah seorang putera terbaiknya menjadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia selama dua periode.
Nias, teruslah maju dan berkembang. Sebagaimana sore ini kami menemukan ceria warga di Pantai Pelabuhan Lama, saat menunggu Buka Puasa, yang datang maghribnya pukul 18.37 WIB, jauh lebih lama dibanding waktu bedug di Jawa.
O ya, di sini memang ada masjid, tapi jarang. Maka, bedug buka puasa ditandai dengan sirine peringatan tsunami yang berbunyi melolong kencang di area pelabuhan. Adapun kumandang adzan baru berkumandang dua menit kemudian, hehehehe..
Hampir 100 persen pengunjung pantai tak lagi bermasker. Ekonomi jalan, dan biarlah yang tenggelam hanya sunset nan elok itu.
Ya’ahowu, bahagia dan diberkatilah Pulau Nias!