Beberapa kali ke Balikpapan, tapi baru kali ini berkesempatan ke Samarinda. Ibu kota Provinsi Kalimantan Timur. Sebenarnya singgah saja. Tujuan utamanya ke Bontang.
Kamis, 29 September 2022, Airbus A320 dari Batik Air ID 6256 yang berangkat dari Terminal 2 D Bandara Soekarno-Hatta Jakarta mendarat. Terbang selama 2,5 jam setinggi 35 ribu kaki, melewati perbedaan waktu Indonesia Barat dan Tengah, kami landed smoothly di Bandar Udara Internasional Aji Pangeran Tumenggung Pranoto, berkode APP.
Penamaan bandara di kawasangan Sungai Siring ini diambil dari nama Gubernur Kalimantan Timur pertama, yang menjabat dari tahun 1957–1961.
APT Pranoto lahir di Tenggarong pada 14 September 1906. Ia adalah anak ketujuh Sultan Aji Muhammad Alimuddin. APT Pranoto lulus dari OSVIA, Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren, di Makassar. Sekolah tersebut merupakan pendidikan bagi calon pegawai bumiputra zaman Hindia Belanda.
Setelah masa perjuangan berakhir pada 1949, Kesultanan Kutai menyatakan bergabung dengan negara kesatuan. APT Pranoto memilih jalur politik. Dia bergabung dengan Partai Indonesia Raya besutan Hazairin Harahap, pakar hukum adat yang menjabat sebagai menteri dalam negeri.
Di antara ‘ontran-ontran’ PKI versus pemerintah, APT Pranoto mendapat fitnah dan tuduhan korupsi pengelolaan anggaran provinsi sebesar Rp 13 juta. APT Pranoto kemudian dikirim ke pusat penahanan militer yang ditakuti di Jakarta. Dia melewati hari-hari yang pilu dan suram.
APT Pranoto meninggal pada 1976 karena kondisi penjara yang buruk. Sosok pendukung Republik Indonesia yang menjadi gubernur pertama Kaltim itu wafat sebagai orang miskin. Dia meninggalkan istri tanpa rumah. Janda dari APT Pranoto, tulis Burhan Magenda, hidup merana karena harus menyewa rumah di kawasan miskin di Samarinda
Belakangan saya paham, di samping pesawat kami, mendarat Super Air Jet dari Surabaya, yang juga membawa rombongan tim Madura United, jelang laga lanjutan Liga 1 melawan Borneo FC dua hari lagi.
Tak terlalu lama di Bandara APP, kami menuju empat mobil menuju Bontang. Sekitar 3 hingga 4 jam perjalanan, termasuk makan di Rumah Makan Kenari, di Jalan Poros Samarinda-Bontang km 80. Saya pesan menu burung belibis goreng di restoran ini.
Dari Balikpapan ke Bontang sekitar 5-6 jam. Sementara kalau dari Samarinda ke Bontang ‘hanya’ 3-4 jam. Jalan darat Samarinda ke Bontang menempuh 120 kilometer, melewati Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Timur, baru Kota Bontang.
“Bersiap ya, perjalanan seperti roller coaster. Kiri kanan nanti perkebunan sawit dan karet. Naik turun bukit,” kata Amirudin, pengemudi mobil Innova 2004 yang saya tumpangi.
Pria asal Bugis ini rapi mengemudi di jalan yang cukup mulus, tapi kadang diselingi jalanan tanah kawasan hutan. Beberapa kali laju mobilnya terhenti. Bukan karena lampu merah pengatur lalu lintas, tentunya. Tapi, karena terhadang mobil pengangkut roda besar untuk kendaraan berat operator batubara yang berjalan lambat.
Kalau antara Balikpapan ke Samarinda ada Tol Balsam, namun menuju Bontang harus ditempuh jalan biasa.
“Dulu ada wacana Tol Sambo, Samarinda – Bontang. Tapi, wacana itu meredup,” katanya lagi. Penghapusan jalan tol Samarinda-Bontang dari Proyek Strategis Nasional (PSN) tertuang dalam Peraturan Menteri Koordinator (Permenko) Bidang Perekonomian Nomor 9 Tahun 2022, Tentang Perubahan Atas Permenko Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Perubahan Daftar PSN.
Pikiran saya melayang saat sering liputan, nonton Persebaya latihan di Karanggayam, sekitar 20 tahun silam.
Saat itu, masseur Persebaya Mat Drai ‘memarahi’ salah satu pemain lapangan tengah Persebaya. Usai Persebaya away melawan Pupuk Kaltim Bontang, menempuh perjalanan 5 jam dari Balikpapan.
“Kamu itu main enggak, tapi mabuk darat…” kata Mat Drai terkenang dalam ingatan saya kala menggoda pemain cadangan Green Force itu.
Hari ini, saya mengalaminya. Puji Tuhan, tidak ber-‘jackpot’ alias muntah kala kendaraan kami naik turun bukit. Hanya sesekali saya perlu membuka jendela mobil untuk merasakan udara luar AC mobil.
Mari nikmati Bontang City!