Ini juga tulisan, dari list tentang sosok yang wajib dikontak saat pergi ke sebuah daerah. Bermula dari perjalanan kali pertama ke Tanah Rencong, 17 tahun silam.
Namanya hidup kadang tak lepas dari keberuntungan. Syahdan, awal 2005, sebagai koresponden Tempo di Surabaya saya terpekur karena banyak berita daerah tak bisa termuat di Koran Tempo. Mayoritas berita diisi terkait perkembangan pascabencana tsunami di Aceh. Mulai update situasi di sana, sampai berita aneka rupa bantuan dari BUMN dan pihak-pihak lain di seluruh antero negeri ke Aceh.
Saat itulah telpon berdering. Kepala Biro Tempo, mendiang Zed Abidien menelpon, “Kamu mau ke Aceh, Jo?”
Tanpa banyak berpikir saya jawab, “Siap.”
Ternyata, seharusnya tawaran itu untuk rekan saya lainnya. Namun, karena dia sedang dalam perjalanan kembali ke Surabaya dari ritual mudik ke kampungnya di Trenggalek, ada suatu spot di mana sinyal hapenya hilang. Dan saat masuk blank sign itulah, ia tak bisa dihubungi. Rezeki jatuh ke tangan saya, meski sempat ketir-ketir juga membayangkan perjalanan ke Aceh.
Singkatnya, saya sampai di Medan. Terbang dari Surabaya-Jakarta-Medan. Tak ada penerbangan ke Bandara Sultan Iskandar Muda karena begitu crowdednya Aceh menerima pendaratan pesawat bantuan dari berbagai negara. Dan tentunya menyambut kedatangan pejabat ini itu.
Beberapa hari terdampar di Medan, akhirnya saya mendapat kabar ada peluang terbang ke Aceh melalui pesawat Hercules. Jadilah, pagi-pagi benar, saya sudah menuju Bandara Polonia, Medan. Menanti kesempatan apakah bisa menumpang pesawat kargo raksasa milik TNI AU buatan Amerika itu. Dalam penantian subuh itu, saya berkenalan dengan sekelompok dokter dan relawan dari Siak, Riau. Kami saling bertukar nomor telepon. Bersyukur, kami bisa masuk dalam kelompok terbang menuju Aceh, dua pekan setelah bencana besar terjadi.
Sampai di Aceh, saya tidur di Pendopo Gubernuran. Bersama wartawan lokal dan internasional. Antre makan di dapur umum, dengan toilet bersama yang kondisinya kurang etis diceritakan di sini. Cukup lama. Sempat ke Sabang, sempat cinlok, dan lain-lain.
Saat itulah, saya dapat kabar dari mbak dokter relawan tadi. Ia menawarkan rumah kontrakan yang akan ditinggalkan karena tugas kemanusiaan mereka sudah selesai. Saya tanya harganya, konsultasi ke koordinator peliputan, dan sambar kesempatan itu. Jadilah, menggunakan becak motor khas Aceh, kami boyongan dari Pendopo Gubernur menuju sebuah rumah milik Keluarga Ratino di kawasan ‘Simpang Surabaya’.
Kami tinggal di sana, Cocok dan kemudian jadi seperti saudara. Lebih dari keluarga. Sampai 17 tahun berselang, tiga kali saya mendapat kesempatan lagi ke Aceh, selalu kontak keluarga ini. Ada Ratna Sary alias Ayie yang jadi dosen sekaligus Sekretaris Jurusan Teknik Mesin dan Industri di Universitas Syiah Kuala (USK), Desy dan Wenny yang berkarya di BNN Aceh, serta Dewi yang merantau jadi aktivis lingkungan di Jakarta.

Maka, dalam kunjungan lima hari ke Aceh kemarin, senang bisa kembali bertemu keluarga ini. Makan di rumah makan Dek Gam tak jauh dari Hotel Hermes. Juga bertemu sebentar jelang kuliah umum di USK. Berterimakasih juga untuk oleh-oleh kopi sachetan khas Aceh yang disampaikan jelang saya take off meninggalkan provinsi di ujung barat Indonesia itu.
“Semoga ada kesempatan berjumpa lagi. Mas Jojo bisa bawa keluarga ke Aceh,” kata Ayie, didampingi David, suaminya.
See you again, Aceh, terima kasih atas kenangan dan persaudaraannya…