Kuliner Yogya Legendaris: Soto Kadipiro

Makan siang di salah satu spot kondang kota pelajar. Berdiri hampir seabad lalu.

Di sela kepadatan jadwal lompat dari dua kampus, kami isi perut di spot legendaris: Soto Kadipiro. Memang terkenalnya adalah soto di Jalan Wates. Tapi, lokasinya belum masuk Kulonprogo, sebuah kabupaten yang beribukota di Wates. Titiknya masih di Ngestiharjo, Kasihan, Kabupaten Bantul.

Di tengah hari nan hectic, terbang subuh dari Jakarta, langsung cek lokasi di kampus UMY Ring Road Bantul jelang ke Jalan Kaliurang kampus UII, kami beruntung dilayani Pak Apri yang amat ceria. Pegawai Soto Kadipiro ini kerap ngocol dengan bahasa Jawa, Indonesia dan Inggris. Hybrid.

“Holiday is everyday,” jawab Apri ketika saya tanya kenapa dia nampak ceria di Jumat siang itu.

Di antara tokoh-tokoh yang fotonya terpasang, saya sempat lupa pada satu figur. Piguranya berdempatan dengan sosok Jusuf Kalla.

“Oh, itu Pak Budiono. Wakil Presiden. Orang Jogja tapi aslinya Jawa Timur,” jawab Apri tentang bingkai di atas kasir itu.

Ketika kami sudah nampak kelar menyantap soto, saya sampai imbuh jadi total dua piring, dia minta kami tak buru-buru.

“Silakan menyerah kalau sudah enough,” banyolnya.

Lalu ia pun memanggil, “Bendahara keuangan negara, mana?”

Di situlah Apri mulai menghitung. Berapa nasi, peyek, krupuk, tahu, sate, dan lain-lain. Jerohan disebutnya sebagai ‘interior’. “Lho, katanya makan tempe, kok ga ada bekasnya,” canda Apri lagi.

Hehehe.. makan sate telor atau sate jerohan ada bekas tusuknya. Tapi, makan tempe?

Seperti biasa, saya hanya minum air putih hangat. Gratis atau dihitung bayar?

“Oh di sini, air putih gratis. Kalau di Prancis sana harganya senilai Rp 70 ribu. Itu kata tamu Prancis yang ke sini. Tapi, ongkos ke sananya mahal juga,” guyonnya lagi.

Meski sudah masuk era modern, cara pembayaran di sini hanya ada dua metode.

“Pilihannya dua. Cash dan tunai,” jelas Apri.

Oh ya, di dekat rumah makan legendaris itu, di seberang jalan nampak beberapa Soto Kadipiro yang lain, dengan sign board gede-gede. Ada yang bertuliskan Soto Kadipiro II, Soto Kadipiro Plus, dan lain-lain. Konon, warung-warung lain itu milik anak-anak dari pendiri soto ini, Mbah Tahir Kartowijoyo.

Ketika saya goda, mana yang asli, mana yang kawe, Apri menjawab tegas, “Yang di sini paling tua. Family boleh sama. Tapi, about money kan beda-beda,” terangnya.

Situs Trip Jogja menulis, Soto Kadipiro sebagai ‘Mbahnya Soto Enak Yogyakarta’. Sementara website Kedaulatan Rakyat menyebut Soto Kadipiro awalnya dijual dipikul oleh Kartowijoyo. Baru pada 1928 menetap di daerah Kadipiro dan kini dilayani generasi ketiga yakni Ibu Sri Sundari.

Jadi, kalau ke Jogja, jangan lupa ke Soto Kadipiro di lokasi paling asli. Sampaikan salam saya ke Pak Apri yang selalu happy.

Leave a Reply

Your email address will not be published.