Begitu bangganya orang Papua pernah jadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional.
Saya pernah berbincang dengan sahabat saya. Saat itu, 2018, kami naik TransJakarta menuju arah pulang ke rumah Ciledug. Melintasi Halte Gelora Bung Karno, yang di ornament haltenya terpampang signage ‘Asian Games 2018’.
“Bro, menurutmu, ketika Asian Games kelak selesai diselenggarakan, dan sukses, apakah penanda itu akan dicopot?”
Teman saya berpendapat tidak. Menurutnya, menjadi tuan rumah Asian Games kali kedua setelah 1962 sangat sayang untuk dihapus dari ingatan. Saya tidak yakin pada pilihan jawabannya.
Dan, tak sampai setahun setelahnya, logo Asian Games itu hilang. Berbeda dengan stadion-stadion di luar negeri yang sengaja dibangun untuk perhelatan Olimpiade atau Piala Dunia. Nama Olympic Stadium atau World Cup Stadium umumnya masih dilestarikan.
Beda Jakarta, beda Papua. Saya ingat saat ke Jayapura akhir tahun lalu. Sebuah taman di dekat Gedung DPRD Papua, kira-kira setahun dua bulan setelah pesta olahraga usai. Masih ada tetenger PON di sana. Tak jauh dari patung Komodor Yos Sudarso, pahlawan yang meninggal di Laut Aru dalam upaya mempertahankan Papua dari Belanda.
Orang Papua tidak hilang ingatan pada sejarah. Mereka bangga, kampung besarnya pernah menggelar acara akbar itu, PON XX yang seharusnya berlangsung 2020. Ditunda setahun karena pandemi. Toh, tetap sukses. Meski secara prestasi Papua hanya berada di posisi keempat dari 34 provinsi. Posisi yang sama dengan Indonesia di Asian Games Jakarta-Palembang 2018: urutan ke-4 dari 37 negara.
Torang Maju, Torang Mampu, Torang Bisa…