Gulai Tikungan alias Gultik Blok M selalu legendaris. Kami menikmatinya akhir pekan lalu.
Dari tahun ke tahun, dekade ke dekade, Gultik Blok M selalu legend. Harganya tak berubah, Rp 10 ribu per piring. Yang berubah porsinya. Perasaan makin kecil deh. Karena itu, kami per orang bisa makan tiga sampai empat porsi.
”Wah ga ngitung ya,” kata Aditya, penjaga rombong Gultik di kawasan Blok M Plaza saat ditanya sehari bisa menghabiskan berapa porsi terjual. Ia hanya memberi ancar-ancar, ”Bukanya sampai subuh.”
Tempo menulis, nama gultik sesuai dengan lokasi para pedagangnya yang berada di tikungan. Meski ada di Jakarta, rata-rata pedagangnya berasal dari Sukoharjo, Jawa Tengah.

Pedagang gulai di sini awalnya berjualan di Bulungan, sebelum pindah ke Mahakam. Mereka mulai berjualan akhir 1980-an dan mulai ramai di awal 1990-an. Bahkan, beberapa pedagang adalah generasi kedua yang meneruskan usaha orang tuanya.
Istilah gultik mulai populer di tahun 1997. Para pedagangnya berjualan dengan gerobak pikul yang dinaungi dengan payung warna-warni. Di sepanjang trotoar mereka memasang kursi dan meja kecil untuk pelanggan yang ingin makan di tempat.

Gulai ini tampak sederhana, berisi beberapa potong daging sapi dan tetelan dengan kuah santan yang encer. Cita rasa gultik mirip dengan gulai khas Solo yang berkuah encer dengan bumbu rempah-rempah seperti jahe, lengkuas, kunyit, cengkih, kemiri, jintan, pala, dan bawang merah bawang putih.
Gulai ini biasanya disajikan dalam satu piring dicampur dengan nasi. Bisa dinikmati dengan tambahan sate jeroan dan kerupuk. Porsinya kecil, cukup untuk orang yang tidak terlalu lapar. Tapi jika perut sedang kosong, mungkin perlu tambah beberapa porsi sampai terasa kenyang.
