Asyik sekali menikmati series di Netflix. Membuka tabir suksesnya Manchester City meraih ‘treble winners’ musim 2022-2023: Juara Liga Inggris, Juara Piala FA, dan Juara Liga Champions.
Saya bukan pendukung Manchester City. Tentu saja. Tetapi menyaksikan Josep Guardiola membawa timnya sukses memberi makna tersendiri dalam filosofi kehidupan ini. Hattrick juara Liga Inggris sekaligus bareng dengan juara Eropa dan kompetisi domestik tertua di dunia.
Episode pertama berjudul ‘All together. Kita sama’. Saya menaruh perhatian khusus pada Pep, sapaan akrab pelatih City. Ia memotivasi anak buahnya dengan memutar video kenangan kemenangan. “Lights, musics, go..”

Dia bukan tukang omong doang. Pep bicara dengan prestasinya.
Pun demikian, Pep bukan pelatih dengan ‘jaim’ alias jaga image level dewa. Usianya 53 tahun. Sebagai pemain, ia membawa Barcelona enam kali juara La Liga. Sebagai manajer tiga kali. Sekali juara Liga Champions Eropa dan dua kali sebagai manajer bersama Barca.
Jadi manajer Bayern Munich, tiga kali membawa juara Bundesliga. Sementara di Manchester City, lima gelar Juara Liga diraihnya, termasuk tiga kali berturut-turut. Ditambah dua juara Piala FA. Empat kali Piala Liga dan sekali juara Liga Champions. Masih ada lagi: Community Shields dua gelar, Piala Super Eropa sekali dan Juara Dunia Antarklub sekali.

Menyaksikan Pep tertawa bak orang gila di lapangan latihan menunjukkan totalitasnya. “Bolanya Bernardiki, Rodri, Bernardiki”,
“Ini tiki tiki tiki taka.. I like it…”,

“Guys, aku akan pensiun… Aku melihat timku bermain seperti mauku. Kalian akan memenangkan Liga Inggris lagi. It so good guys, it so good..”
Atau saat mencerca tim yang sebenarnya sudah bermain cukup baik.
Guardiola dan City memberi kita pelajaran totalitasnya dalam bekerja. Totalitas dalam marah, tapi juga totalitas dalam gembira.

