Lagi, buku menarik dari Tere Liye. Judulnya ’Janji’, tebalnya 486 halaman.
Tokoh dalam buku ini sebenarnya bernama Bahar. Atau Bahar Safar. Safar berarti musafir, seorang peziarah hidup, menempuh perjalanan begitu penjang. Dikisahkan melalui perjalanan Hasan, Baso, dan Kaharudin, Tiga Sekawan anak nakal yang ditugaskan mencari Bahar oleh guru sekolah agamanya: Buya.
Dari perjalanan kota ke kota, Tiga Sekawan itu menemui orang-orang yang tahu siapa Bahar dan ke mana jejaknya berada.
Berawal dari perjalanan ke ibu kota provinsi, dari sebuah tempat minum ternama. Bertemulah mereka dengan Bos Acong, seorang yang juga jadi pelarian Bahar saat ‘diusir’ dari sekolah agama yang sama. Bos Acong lama jadi teman minum Bahar. Malam itu mereka menginap di rumah Bos Acong.
Pagi hari, menyelinap dari rumah Bos Acong, mereka menapaktilas kisah Bahar ke pasar. Lalu ke kontrakan, rumah bedeng tempat Bahar pernah tinggal. Di sini mereka bertemu Kang Asep, tukang pijat yang pernah jadi tetangga rumah petak Bahar. Berhalaman-halaman lagi punya cerita, sampai Bahar masuk penjara. Demi menyelamatkan tetangga, setelah melakukan serangkaian kisah heroik lainnya.
Siang itu, mereka kembali ke rumah Bos Acong. Menceritakan kisah ke mana terakhir Bahar pergi, termasuk aneka perbuatan humanisnya. Bos Acong mengutus mereka ke penjara, bertemu sipir Mansyur yang kemudian membuka tabir perjalanan Bahar saat jadi pesakitan.
Di sini Tere Liye memaparkan segala hal tersembunyi tentang penjara. Tentang penganiayaan tanpa alasan narapidana oleh sipir senior, tentang kejahatan seksual di penjara, tentang remisi basa-basi, tentang kursus di penjara, tentang blok elit para koruptor, dan lain sebagainya. Tak ada clue lain saat cerita berujung pada pembebasan Bahar dan pension dininya sang sipir.
Masih di ibu kota provinsi itu, mereka salat di Masjid Agung. Saat itu, seperti ada ’kairos’ dan malaikat mempertemukan mereka dengan Muhib, seorang yang pernah jadi anak buah Bahar selepas dari penjara. Merekapun mendapat cerita panjang. Termasuk kebaikan Bahar saat menjalani hidup baru selepas dari penjara, jadi tukang servis dan menikah dengan perempuan impian.
Menumpang bus rombongan lamaran Muhib, mereka tiba di ibu kota provinsi lain. Lalu setelah dari Muhib berakhir, mereka mendapat rekomendasi untuk terbang dengan pesawat kelas bisnis ke ibu kota provinsi tempat Bahar pernah menemukan romantisme itu.
”Nasib itu memang naik-turun ya. Tadi siang kita naik bus, eh, sekarang naik pesawat, kelas bisnis pula,” kata Baso.
Esoknya, mereka bertemu Saudagar yang pernah berinteraksi dengan Bahar dan memberinya VW Beetle. Mobil bekas yang kemudian berisi emas batangan 20 kilogram nan lama dicari sang Saudagar.
Saudagar itu meminjami Tiga Sekawan jet pribadi, terbang dua jam menuju lokasi pertambangan rakyat. Lagi, mereka menemukan jejak Bahar yang bekerja keras sebagai kompensasi menghilangkan kesedihan akibat perginya Delima, isterinya. Cerita panjang perjuangan Bahar di lokasi penambangan emas ilegal, termasuk dengan belencong bertuah, yang membuatnya beruntung tahu arah mana emas berada.
Tak ada juga Bahar di situ, sampai mereka mendapat surat dengan alamat Bahar di Jakarta. Pergilah mereka, masih dengan jet pribadi saudagar, menemukan jejak Bahar lagi.
Kembali mendapat cerita Bahar yang membuka rumah makan Delima, dan hidup berbagi kebaikan demi kebaikan, sedekah demi sedekah. Sampai akhirnya meninggal dengan harum di kampung sisi gedung besar ibu kota negeri.
Begitu baiknya Bahar pada sesama, baik di rumah bedeng, penjara, pertigaan tempat servis dan toko emas, pertambangan, maupun gang di Jakarta, tak lepas karena nasihat gurunya.
”Apapun yang akan terjadi setelah hari ini, di manapun kakimu akan pergi, pakailah pusaka ini.
Pertama, selalu hormti dan bantu tetanggamu.
Kedua, selalu lindungi yang lemah dan teraniaya.
Ketiga, senantiasa jujur dan tidak pernah mencuri.
Keempat, bersabarlah atas apapun ujianmu.
Kelima, bersedekah, bersedekah, dan bersedekahlah.”
Janji itu terus dia pegang sampai mati.
Terima kasih, There Liye untuk pelajaran hidupnya…