Buku Tere Liye kali ini fiksi, tentu saja. Tapi seolah-olah ia bicara nyata tentang idealisme, kisah penulis di era Soekarno, yang mati dalam sunyi.
Sutan Pane, nama penulis itu, dikisahkan dalam alur flash back oleh Sintong Tinggal, seorang anak muda asal Sumatra yang mengembara di sebuah kampus negeri ibu kota.
Sintong menjadi penunggu toko buku bajakan milik Pakdenya, yang selain menggaji, juga membiayai kuliahnya. Selain buku bajakan yang merugikan penulis, buku ini juga berkisah tentang pakaian dan tas mewah bajakan yang dilakukan Mama Jessica, seorang perempuan dari kalangan atas yang naksir -dan ditaksir- Sintong.
Juga ada kisah obat palsu, alias obat bajakan, yang membuat Mawar Terang Bintang -mantan perempuan yang begitu dikasihinya saat SMA- masuk penjara.
Dalam upaya menyelesaikan skripsinya, Sintong akhirnya berkelana ke Jogja. Setelah mencari jejak Sutan Pane di pinggiran Jakarta, lalu ke Puncak, sampailah Sintong bertemu Pak Oey di Kota Gudeg. Dari situ terkuak misteri Sutan Pane yang meninggal dalam senyap. Setelah gagal mendidik adik kandungnya dalam urusan moral: gila judi hingga mengambil uang simpanan koperasi banyak orang.
Dari buku setebal 350 halaman ini kita belajar tentang integritas, bangga pada karya asli daripada bajakan, serta tekunlah di jalan yang benar, bukan di jalur instan untuk meniti sukses.
Seperti petikan paragraf terakhir buku karya Sutan Pane itu,
”Kita bisa memperbaiki semuanya. Bagaimana memulainya? Mulailah dengan mengucapkan kalimat itu kepada diri kita. Ucapkan dengan gagah, ”Selamat Tinggal” semua keburukan masa lalu. ”Selamat Tinggal” semua kebodohan dan ketidakpedulian itu. Sungguh, ”Selamat Tinggal!”
Dan, ”Selamat Datang” revolusi!