Minang Klasik Siriah Gadang, Semangat Hidup Baru Salma Indria

Bagi Salma Indria Rahman, hidup bak perjalanan dari mujizat satu hari ke hari lainnya.

Salma menemukan titik baru dalam perjalanan hidupnya. Eks jurnalis berbagai media ini sekarang mudah ditemui di kios paling ujung Jl Penataran 1, Menteng, Jakarta Pusat. Tepatnya di pertigaan Jalan Penataran dan Ki Mangunsarkoro, tak jauh dari Tugu Proklamasi, tempat Soekarno-Hatta mengikrarkan berdirinya republik ini.

Sebagai orang Minang yang lahir dan besar di Jakarta, perempuan enerjik di usia setengah abad itu tak mau melupakan sisi khas kampuangnya. ’Padang’ kerap dimaknai sebagai ’pandai berdagang’, dan orang Sumatera Barat terkenal dengan kelebihan memasaknya.

Maka, di antara hampir seratus kios UMKM yang diinsiasi Kecamatan Menteng, Kota Jakarta Pusat, ada satu kedai berukuran 2×2 meter miliknya. Kios ’Siriah Gadang’ menyediakan ketupat sayur Minang, dengan menu andalan rendang kerbau, ragi paru, asam apdeh yang jarang ditemukan di rumah makan Padang. Ada juga menu dendeng batokok, tunjang, dan kopi Minang dengan cangkir dsri batok kelapa.

”Benar-benar miracle semua ini. Terutama setelah mengalami serangkaian penyakit yang nyaris tak henti mendera tubuhku,” kata penggagas literasi dengan dongeng jari ‘Boneka Juki and Friends’.

Setelah berhenti dari dunia media, Salma sempat terlibat saat salah satu perusahaan dagang online bersiap mengeluarkan penawaran saham perdana.

”Wah, senang, sempat digaji dua digit sebelum akhirnya resign,” kenangnya mengingat masa bekerja di lokapasar raksasa itu.

Pada 2019, Salma terserang axial spondyloarthritis, radang sendi kronis yang membuat nyaris lumpuh selama tiga bulan. Salma kemudian berobat ke dokter spesialis penyakit dalam ternama, Nanang Sukmana dan baru terdeteksi mengalami terserang inflammatory bowel disease (IBD) kemudian menjalani fisioterapi di RS Orthopedi di Solo hingga Desember 2022.

Ajaibnya, tinggal di ‘rumah pohon’ kawasan Tambak, ia sama sekali luput dari Covid-19.

Tak kurang, ia berobat ke Penang, juga terkait auto immune yang dialaminya. ”Kelenjar air mataku sekarang tinggal 50 persen. Sudah mulai tak awas dan kering. Selain itu, harus pakai jaket dan sendal tiap hari, terkait kondisi kulitku,” kisah lulusan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Lenteng Agung ini.

Kembali ke Jakarta, ternyata dokter Nanang wafat dan akhirnya dirujuk ke RSCM. Tahun 2023 inilah  dilakukan pemeriksaan menyeluruh dari ujung rambut sampai ujung kaki, dengan total 14 dokter spesialis). Bolak-balik menjalani endoskopi dan biopsi, bahkan, masuk IGD dan dirawat di RSCM, berat badannya turun drastis hingga 45 kg.

“Dokter menyatakan saya hanya bisa berkegiatan selama 6 jam per hari. Beraktivitas ya, bukan bekerja,” katanya.

Tahun lalu, hasil endoskopi membuahkan hasil berkat diet 6 bulan mengonsumsi makanan ala Jepang sehingga sudah bisa makan kembali.

Saat itulah, datang tawaran dari Jakpreneur UMKM Menteng untuk bergabung dan melakukan proses sertifikasi halal. Juli 2024 lolos sertifikasi dan Oktober mendapat kios di Kuliner Penataran JP44 hingga saat ini. Biaya retribusi per bulan di sini tak sampai Rp 500 ribu sudah termasuk retribusi ke negara, air, dan lain-lain.

”Ajakan pengeloaan kios ini pas saya lagi hopeless-hopelessnya. Bersyukur ada kesempatan seperti ini, dari wartawan yang gak pernah belajar dagang. Karena itu, harga makanan di tempatku kerap dianggap terlalu murah,” kisahnya.

Di awal-awal sendirian jaga outlet, ia sempat tumbang selama dua bulan. Apalagi saat itu Jakarta lagi panas-panasnya.

“Namanya dagang, saat Oktober-November lalu defisit sampai Rp 2 – 4 juta per bulan. Harapannya, makin banyak yang mengenal kios ini, baik dari medsos maupun teman-teman media dan aktivis yang kumpul di sini,” kata penulis andal yang masih diminta Walhi Eksekutif Nasional untuk menyunting menjadi editor Buletin Bumi, media internal aktivis lingkungan hidup Indonesia itu.

Sore itu, Salma baru kelar mengikuti kurasi grading nasional, untuk bisa menentukan langkah usahanya ke depan. Bersyukur, Siriah Gadang lolos untuk mengikuti pameran-pameran level kota di Indonesia.

”Yang bisa buat aku kuat, ya karena kita percaya Tuhan. Masak sih Tuhan, kita sudah usaha, sudah sabar, tak mau mengeluh dalam sakit, tapi tak dikasih? Saat itulah Malam Minggu mulai ramai,” ucapnya.

Dengan memasak, membuat poster canva untuk usahanya, maka cara berpikirnya mulai kembali jalan. Ia pun berterima kasih bisa diterima di grup teman-teman jurnalis, termasuk untuk mempromosikan dagangan ini.

”Sakit lama itu membuat kita jadi kayak tergerus. Kadang saya berpikir, apa saya memanfaatkan teman-teman saya, atau memanfaatkan kesakitan saya, seperti jual kesedihan,” ungkap lajang berdarah Padang Pariaman, kabupaten pesisir berjarak sejam dari Padang.

Nama ’Siriah Gadang’ diambilnya dari tradisi yang menghargai kedatangan tamu di masyarakat Sumatra Barat.

”Orang Minang itu kalau ada undangan adat, seperti acara nikah, khitanan, dan lain-lain pakai daun sirih besar, dengan perangkatnya, seperti buah gambir dan kapur untuk dimakan sebagai tanda menerima penghormatan,” terangnya.

Malam itu, ia sibuk menyiapkan pesanan ketupat sayur dan nasi goreng Minang untuk karyawan Hotel Mega. Pelanggannya juga datang dari showroom mobil Ferrari di seberang kios ’Siriah Gadang’.

Uniknya, dalam meracik masakannya, ada nilai-nilai aktivisme terselip di sana. Saat membuat rendang, ia menggunakan minyak kelapa, untuk menghindari pengentalan darah yang ditimbulkan dari minyak goreng biasa. Selain sebagai bentuk ’perlawanan’ terhadap industri sawit.

”Ya dong, kampungku punya hutan adat, lho. Masih ada harimau dan jadi lokasi berburu babi hutan di sana,” ungkapnya.

Selamat terus bangkit dalam hidup ini, Salma, semoga makin laris ’Siriah Gadang’-nya.

Seperti selorohnya di akhir perjumpaan malam itu, ”Life mas gogon!” Maksudnya, life must go on…

Leave a Reply

Your email address will not be published.