Penamaan Halte TransJakarta atau Stasiun MRT dengan nama perusahaan sudah biasa. Tapi, fenomena baru terjadi saat Halte Petukangan Utara kini menjadi ’Halte Petukangan Utara D’Masiv’.
”Perhentian selanjutnya: Petukangan Utara D’Masiv, Periksa kembali barang bawaan anda, hati-hati melangkah dan jangan menyerah! Terima kasih,Next Stop: Petukangan Utara D’Masiv. Please Take Care Your Belonging, Step Carefully and Never Give Up.”
Sebagai pengguna TransJakarta hampir setiap hari, surprises saja sejak awal Ramadan lalu nama halte ini berubah. Sebelumnya, halte ini dikenal dengan nama Halte Petukangan Utara, yang diambil dari nama kelurahan setempat. Pada masa pembangunan, halte ini sempat disebut Budi Luhur, lalu diubah menjadi Adam Malik, sesuai nama jalan raya di komplek Deplu atau Kementerian Luar Negeri. Sebelum menjadi Wakil Presiden ketiga RI 1978-1983, Adam Malik merupakan mantan menteri luar negeri.
Peresmian pembelian hak penamaan atau naming rights Halte TransJakarta Petukangan Utara dilakukan langsung
oleh Direktur Utama PT Transportasi Jakarta (TransJakarta) Welfizon Yuza dan seluruh personel D’Masiv, yakni Rian Ekky Pradipta, Nurul Damar Ramadan, Dwiki Aditya Marsall, Rayyi Kurniawan Iskandar Dinata dan Wahyu Piadji.
Berapa harga naming rights itu memang tak dibuka ke publik. Tak seperti penamaan Halte MRT Cipete Raya Tuku yang konon sampai 5 miliar rupiah.
Lebih kepada kenangan yang tak ternilai harganya. Kompas.com menulis, bagi D’Masiv, kolaborasi ini bukan sekadar kerja sama bisnis, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap perjalanan panjang mereka di industri musik yang berakar di Ciledug. Vokalis D’Masiv, Rian Ekky Pradipta atau akrab dipanggil Rian D’Masiv mengungkapkan, Jalan Ciledug Raya memiliki sejarah tersendiri bagi band yang telah berdiri selama 22 tahun ini.
”Buat D’Masiv, Jalan Ciledug Raya ini punya cerita yang nggak akan pernah bisa kami lupakan. Karena kami dulu berjuang dari minus di jalan ini,” kata Rian. Dulunya D’Masiv selalu berlatih musik di salah satu studio yang ada di Petukangan, Jakarta Selatan, yaitu Blewa Studio. Maka dari itu, ketika melewatinya studio tersebut, mereka selalu mengenang masa-masa perjuangan.
“Paling sering kami dulu latihan di Blewa Studio, di Petukangan. Jadi memang kalau lewat sini selalu flashback ke masa-masa di mana kami sedang berjuang,” jelas dia.
Sebuah kenangan, menjadi sebuah nama halte, mengingat semangat pantang menyerah dalam lagu itu.
“Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anug’rah
Tetap jalani hidup ini
Melakukan yang terbaik
Tuhan pasti ‘kan menunjukkan
Kebesaran dan kuasa-Nya
Bagi hamba-Nya yang sabar
Dan tak kenal putus asa
Jangan menyerah
Jangan menyerah
Jangan menyerah
Jangan menyerah
Jangan menyerah
Jangan menyerah…”