Juli 2017 berkesempatan berkunjung ke Tugu Khatulistiwa. Tahun ini, kembali lagi ke monumen ikonik Kota Pontianak itu. Kembali dapat sertifikat menginjak Nol Derajat Lintang Utara-Lintang Selatan.
Saat masih ada kesempatan sehari di Pontianak, kami pun plesir ke beberapa tempat makan. Terbersit ide ke Tugu Khatulistiwa. Dicek jaraknya dari Bandara Supadio -kami baru mengantar dua orang anggota rombongan balik lebih awal ke Jakarta- cukup jauh. Juga rentan macet. Saya mah biasa saja, karena sudah pernah ke sana delapan tahun lalu. Tapi, tetap ’ngompori’ teman-teman yang belum pernah ke situ.

Akhirnya jadi juga. Hampir sejam perjalanan. Melewati jembatan di atas Sungai Kapuas, dan juga kemudian Sungai Landak, sampailah kami di tugu di daerah Batu Layang, Pontianak Utara itu.
Di Monumen Khatulistiwa, setelah membayar tiket masuk Rp 15 ribu, kami beruntung bertemu Hamdi Jupel, petugas kontrak Pemkot Pontianak yang menjadi penjaga dan juru pelihara Tugu Khatulistiwa. Tugasnya mulai mencetak sertifikat bukti pernah berkunjung ke titik Ekuator, hingga menjadi pemandu wisata menjelaskan sejarah tugu ini.

”Kalau kita berdiri di antara batas garis di tengah tugu lalu menendang bola, itu adalah tendangan terjauh di muka bumi ini. Melintasi garis Lintang Utara dan Lintang Selatan. Bahkan, Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo pun tak mampu melakukannya,” selorohnya.
Demikian pula kalau kita bersalaman di atas garis itu. Itulah jabat tangan membentang di dua bagian atas -bawah bumi ini. Puncak panas-panasnya Pontianak terjadi dua kali setahun. Menjadikannya sebagai event wisata kota yang banyak mengundang wisatawan.

”Peristiwa titik kulminasi Matahari itu terjadi setahun dua kali, yakni antara tanggal 21-23 Maret dan 21-23 September, yakni fenomena alam ketika matahari tepat berada di garis khatulistiwa,” ungkapnya.
Pada saat itu posisi matahari akan tepat berada di atas kepala sehingga menghilangkan semua bayangan benda-benda di permukaan bumi. Kala peristiwa kulminasi tersebut, bayangan tugu akan ’menghilang’ beberapa detik saat diterpa sinar matahari. Demikian juga dengan bayangan benda-benda lain di sekitar tugu.

Tempo menulis, di titik nol derajat ini, telur pun bisa dengan mudah berdiri. Hampir petang pada Sabtu kala itu, Hamdi Jupel, juru kunci Tugu Khatulistiwa Pontianak, tampak sibuk meletakkan telur ayam di sebuah lantai di dalam monumen.
“Tunggu saja 10 menit,” kata Hamdi. Sekitar enam orang mengerubunginya. Hamdi meletakkan telur itu tepat di samping tugu Khatulistiwa. Kata dia, di dekat tugu itu, telur akan gampang berdiri.

Dua tangan Hamdi erat memegang telur. Ia memutar-mutar benda di tangannya tersebut smbil sesekali mencoba melepaskan genggamannya. Telur ini tampak menyerong saat salah satu tangan Hamdi mundur. Amatan pria separuh baya ini pun begitu lekat. Tak sekali pun matanya lolos dari telur. Tampaknya ia benar-benar konsentrasi untuk membuat telur itu berdiri.
Benar saja, tak sampai 10 menit, sebutir telur ayam negeri itu langsung berdiri tegak. Enam orang di belakang Hamdi tampak melongo. Mereka lantas bergegas memotret fenomena di depan mata ini. Hamdi yang semula jongkok di dekat telur langsung mundur dan menyilakan para pengunjung untuk leluasa menjepret.

Tugu biasa di pinggir jalan
Dulunya, Tugu Khatulistiwa ini hanya penanda biasa di tepi jalan raya. Didirikan oleh peneliti Belanda pada 31 Maret 1928. Waktu itu, tugu pertama dibangun berbentuk tonggak dengan anak panah.
Dua tahun kemudian, 1930, Tugu Khatulistiwa disempurnakan, berbentuk tonggak dengan lingkaran dan anak panah. Kemudian, 1938 dibangun kembali dengan penyempurnaan oleh arsitek Friedrich Silaban, yang juga terkenal sebagai desainer Masjid Istiqlal, Monumen Nasional, Gelora Bung Karno, Monumen Pembebasan Irian Barat Lapangan Banteng, dan lain-lain.

Pada 1990, kembali Tugu Khatulistiwa direnovasi dengan pembuatan kubah untuk melindungi tugu asli serta pembuatan duplikat tugu dengan ukuran lima kali lebih besar dari tugu yang aslinya.
Tugu Khatulistiwa diresmikan pada 21 September 1991 oleh Gubernur Kalimantan Barat Parjoko Suryo Kusomo, yang saat itu menjabat sebagai gubernur Kalimantan Barat. Bangunan ini memiliki kubah yang menyimpan informasi tentang sejarah Tugu Khatulistiwa. Di dalamnya juga terdapat tugu asli dan berbagai benda terkait, seperti objek fotografi hasil reproduksi dan teks yang menceritakan sejarah pembangunan dan berdirinya tugu dari kayu ulin, atau kayu besi yang biasa dipakai sebagai bantalan rel kereta api.

“Berdasarkan penelitian ulang, ternyata titik nol derajat LU-LS bergeser 0,3 detik atau 100 meter, yang kemudian dibangun bola dunia di tepi Sungai Kapuas,” pungkas Hamdi.
Nah, meski jaraknya sekitar 25 kilometer dari Bandara Supadio, rasanya kurang pas kalau Anda ke Pontianak melewatkan singgah ke Tugu Khatulistiwa!



