Buku ketujuh belas Tere Liye yang saya baca. Bercerita tentang peliknya dunia hukum warisan, deskripsi bisnis rintisan era 1970-an, perjalanan ke berbagai titik di dunia, dengan bumbu kisah pemberontakan komunisme di tanah air.
Cerita berawal dari London, Pulau Bungin di Nusa Tenggara Barat, Surakarta, Jakarta, dan berakhir di Paris. Dibumbui titik-titik perjalanan lain sang tokoh utama.
Penuturnya, meski digambarkan sebagai orang ketiga, Zaman Zulkarnaen, anak muda asal Bandung, pengacara firma hukum ternama Thompson & Co, di Belgrave Square, tak jauh dari Istana Buckingham, London.
Dari sini, Zaman melacak hidup peran sentral novel ini: Sri Ningsih. Dari perjuangan masa kecil anak nelayan migran dari Jawa di Pulau Bungin, Sumbawa Besar, NTB, yang berjuluk sebagai ‘pulau terpadat di dunia’. Dihuni ribuan nelayan kebanyakan asal Bajo, Sulawesi Selatan, dalam pemukiman yang digambarkan sebagai, “rumah-rumah yang tumbuh dari atas permukaan laut, perahu tertambat di tiang-tiang, dan kambing-kambing mengunyah kertas.”
Melacak jejak Sri Ningsih di Bungin, mendengar kisah berat masa kecilnya, lalu bergeser ke madrasah di Jawa Tengah. Dari Solo, cerita runtut usai era G 30S / PKI berlanjut ke Jakarta jelang akhir 1960 dan 1970-an. Sosok seorang pencari kerja nan tangguh, sampai akhirnya punya pabrik sendiri.
Stori kemudian berlanjut ke Inggris. Dengan sangat detail, Tere Liye menceritakan sudut-sudut London. Dari terminal bus, sampai perkampungan India. Perjuangan Sri Ningsih digambarkan dari sulitnya menemukan pekerjaan, menjadi sopir teladan, manis getir berumah tangga, hingga kembali menghilang karena melihat ’hantu’.
Semua berakhir di Paris. Kembali ke genre Tere Liye penuh laga, seperti novel-novel melawan bandit di tanah jahanam.
’Tentang Kamu’ menceritakan bahwa hidup ini keras. Semua mimpi bisa tercapai kalau kita konsisten bekerja tanpa kenal menyerah. Teruslah juga berbuat baik, nanti ’kebetulan-kebetulan yang nyata’ itu akan bersamamu. Siapa sangka, dari tinggal di pulau nan sesak, bisa menjelajah lima benua di dunia.
Di bagian akhir novel setebal 501 halaman ini terungkap jawaban Zaman saat menjalani tes wawancara hukum bermakna filosofis di kantor pengacara bereputasi tinggi sejak era Perang Dunia II itu.
“Jikalau berkata jujur hendak membuat empat orang jahat terbunuh secara mengenaskan, sementar berbohong akan membuat dirinya selamat, pilihan apa yang hendak dipilih? Ia rela mati bersama keempat orang jahat tersebut demi menegakkan kebenaran yang ada.”