Berkunjung ke Bandung untuk pertemuan dengan Tim Biro Hukum Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Mendapat kesempatan tour ke kantor gubernur yang lagi viral, Kang Dedi Mulyadi.
Gedung Sate, kami masuk dari pintu seberang DPRD Jawa Barat, yang sedang dikunjungi rekan-rekan pengunjuk rasa dari Papua.

Di Jalan Diponegoro, gedung legendaris ini terletak. Pada masa Hindia Belanda, Gedung Sate dibangun sebagai kantor Departement Verkeer en Waterstaat atau Gedung Departemen Pekerjaan Umum.
Gedung ini dibangun sejak 27 Juli 1920 merupakan hasil perencanaan sebuah tim yang terdiri dari arsitek kenamaan Belanda lululusan Fakultas Teknik Delft Nederland, Ir. J. Herber dan kawan-kawannya. Pembangunannya melibatkan 2000 pekerja, 150 orang di antaranya pemahat, atau ahli bongpay pengukir batu nisan dan pengukir kayu berkebangsaan China, dibantu tukang batu, kuli aduk dan peladen, yang sebelumnya mereka menggarap Gedong Sirap (Kampus ITB) dan Gedong Papak (Balai Kota Bandung).

Gedung Sate sejak tahun 1980 dikenal dengan sebutan Kantor Gubernur karena sebagai pusat kegiatan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang sebelumnya Pemerintahaan Provinsi Jawa Barat menempati Gedung Kerta Mukti di perempatan Jalan Braga dan Perintis Kemerdekaan Bandung. Kini, Gedung Kerta Mukti digunakan untuk kantor Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Provinsi Jawa Barat.
Tampak depan Gedung Sate ternyata sangat diperhitungkan. Dengan mengikuti sumbu poros utara-selatan (yang juga diterapkan di Gedung Pakuan, yang menghadap Gunung Malabar di selatan), Gedung Sate justru sengaja dibangun menghadap Gunung Tangkuban Perahu di sebelah utara.

Yogi Hidayat, sahabat baru dari Pemprov Jabar) mengantar kami ke Menara Gedung Sate. “Dari lantai tiga, kita naik tangga kayu hingga ke puncak,” kata pria asal Surabaya ini.
Menurut Detikcom, penamaan Gedung Sate ternyata bermula dari warga Bandung yang terpukau dengan megahnya bangunan saat itu. Namun warga kesulitan menyebut nama bangunan yakni Departement Verkeer en Waterstaat.

“Warga Bandung ketika gedung ini diresmikan pakai nama Belanda Departement Verkeer en Waterstaat, panjang pisan ya, warga Bandung protes ini Belanda meresmikan katanya ibu kota baru tapi pakai bahasa Belanda,” ucap edukator Museum Gedung Sate, Wenno Guna Utama.
Ketika pembangunan rampung, warga Bandung yang melihat bentuk gedung ini punya reaksi unik. Alih-alih menyebut nama resminya yang panjang dan rumit dalam bahasa Belanda, masyarakat lebih nyaman menyebutnya Gedung Sate.

Protes yang dibungkus dengan guyonan ini pun menyebar cepat. Dari warung kopi hingga pasar, orang-orang menyebut bangunan megah itu dengan nama Gedung Sate hingga akhirnya nama itu bertahan hingga sekarang.

“Atas dasar itu kemudian warga Bandung yang melihat gedung megah, mereka melihat di atasnya ada satenya, ada seperti sate padahal itu penangkal petir kan,” ungkapnya.
Mulai dari saat itu, dari mulut ke mulut ini disebut Gedung Sate.

”Walaupun kita gak tahu orang pertama yang bilang ini Gedung Sate siapa, jadi hanya penamaan spontan secara oral saja,” sambungnya.
Membandingkan Gedung Sate dengan bangunan-bangunan pusat pemerintahan (capitol building) di banyak ibu kota negara sepertinya tidak berlebihan.
Persamaannya semua dibangun di tengah kompleks hijau dengan menara sentral yang megah. Terlebih dari segi letak gedung sate serta lanskapnya yang relatif mirip dengan Gedung Putih di Washington DC, Amerika Serikat, dapat dikatakan Gedung Sate adalah “Gedung Putih”nya kota Bandung.
