Ini buku pertama Eka Kurniawan yang saya baca. Memang kekuatannya sangat deskriptif, detail, meski tak se-’menegangkan’ dan alur up and down karya Tere Liye, misalnya.
Tebalnya 190 halaman. Tak ada ilustrasi sama sekali di dalam, kecuali cover. Sebenarnya bukan masalah. Pencinta buku tak mencari gambarnya, tapi membaca kekuatan substansinya.
Sudah lama saya mendengar Eka dan kehebatan buku-bukunya. ’Cantik itu Luka’, ’Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas’, ‘Corat-Coret di Toilet’…
Pun setengah menyesal karena dalam sebuah forum di Kementerian Kebudayaan, Diskusi Sastra Mendunia Juni lalu, tak ngobrol dengan Eka, pria asal Tasikmalaya hampir setengah abad ini. Mungkin karena saat itu belum membaca sebiji pun buku atau sejudul karyanya.
Mengapa buku pertama Eka yang saya baca ’Lelaki Harimau’ semata kebetulan. Buku itu yang saya temukan di perpustakaan DPR. Bukan karena saya merasa sok-sokan ada kemiripan. Kadang merasa ada harimau -atau mungkin singa- di dalam diri saya ini.
Saya membaca di cetakan pertama edisi 2014. Fontnya terlalu kecil menurut saya, dibandingkan novel lain. Tapi, ya masih okelah untuk dibaca tanpa harus memicingkan mata.
Sangat kreatif alurnya. Muter, ke situ, balik lagi, ke situ lagi. Dari kisah Margio mengeluarkan ”keharimauannya” menggigit mati sang korban, hingga di halaman terakhir jadi sangat jelas alasan melakukan itu.
Bumbu-bumbu seks muncul, tapi masih tak terlalu over. Tak jelas di mana latarnya. Mungkin Jawa, tapi tak jadi soal juga. Bicara keluarga, kemiskinan, hidup yang begitu-begitu saja, mimpi punya rumah, dan keluarga dengan sejuta cerita. Tapi, harga diri menjadi begitu tinggi. Termasuk kisah awal Margio -sang tokoh sentral- memiliki keinginan membara mewarisi ilmu sang raja rimba.
Karena alurnya pelan, maka kecepatan membaca pun kadang tak sampai 20 halaman sehari. Tak apalah, toh akhirnya tuntas, dan bisa mengambil hikmahnya: jangan keluarkan harimau -yang seputih angsa itu, untuk membunuh orang lain. Peliharalah sebagai teman, untuk rasa percaya diri, untuk bermain-main di sekitarmu…
Benar sekali, Eka Kurniawan, an unconventional writer, kata The Post.