Surat Sehat Mental

Dalam proses pemenuhan persyaratan mengurus sesuatu ini, tak hanya Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) yang harus dipenuhi. Tapi juga surat sehat fisik dan mental. Jasmani dan rohani. Tubuh dan jiwa.

Surat keterangan sehat fisik tak susah mendapatkannya. Dari sebuah klinik. Ditensi, ditanya ini itu, aman, dapat deh, langsung print dan tanda tangan dokter.

“Tapi, maaf, kami tak bisa keluarkan surat sehat mental. Karena ada tes psikometrinya,” kata dokter di klinik itu.

Sarannya, ke RS Fatmawati.

Oke, saya ikuti, Dok. Dua hari berikutnya, menuju ke RS Fatmawati. Sudah lama tak ke sini. Terakhir lima tahun lalu, membezuk kerabat di tengah malam.

Berbekal informasi dari website, terbaca bahwa pengurusan medical check-up, termasuk surat sehat, ada di Ruang Bougenville. Dari gerbang depan, ternyata harus masuk jauh ke belakang. Bisa lewat ruang perawatan metadon, atau bisa juga keluar ke arah parkiran mobil.

Sampailah di sana. Saya memilih hanya mengurus surat sehat mental. Bukan surat MCU fisik, atau surat bebas narkoba. Bayar Rp 255 ribu. Transfer by Livin’ Mandiri. Beres!

Selanjutnya, petugas memberi pertanyaan untuk diisi. Sebanyak 90 soal. Tentang gejala diri. Apakah Anda sakit kepala, gugup, berdebar-debar, punya pikiran tidak menyenangkan, merasa kesepian padahal tidak sendirian, diliputi kesedian, merasa tidak dihargai, dan lain-lain. Jika kecenderungan sedikit tulis angka minimal hingga nol. Jika merasa related, tulis hingga 5. Hampir semua saya isi nol. Menyisakan satu soal dengan biji 1, pada pertanyaan, ”Anda suka mengkritik.” Ya, masak nol semua.

Menuju ruang pemeriksaan, ternyata mengantre. Rupanya banyak teman-teman calon PPPK (tenaga ASN non PNS berbasis perjanjian kerja kontrak) juga diharuskan membawa persyaratan serupa. Setelah antre dengan cara bergeser dari satu tempat duduk ke sebelahnya, sampai juga giliran saya.

Dokter R bertanya, ”Sehat semua, sesuai pertanyaan tadi?”

Saya iseng menjawab, ”Ya, sebenarnya saya ingin mendengar atau melihat sesuaiu yang tidak dirasakan orang lain.” Mengacu pada salah satu soal.

Bu Dokter R tersenyum, ”Tidak usahlah.”

Ternyata ibu dari alumni mahasiswi komunikasi di kampus tempat saya mengajar. Mungkin juga pernah jadi mahasiswi saya saat kuliah berlangsung secara daring di masa ’negara api’ menyerang. Kini, sang puteri sudah bekerja di sebuah konsultan komunikasi.

”Kok tidak jadi dokter seperti ibunya saja?” tanya saya tanpa beroleh jawaban.

Begitulah pengurusan surat sehat. Tapi tak bisa langsung jadi. Harus kembali dua hari lagi.

”Memang pasti lulus, tidak ditelpon dulu?” tanya saya ke bagia pendaftaran.

“Ya, kalau tidak lulus kami telpon untuk dijemput,” selorohnya.

Saya merasa beruntung. Rekan saya mendapat lebih dari 400 pertanyaan untuk tes serupa. Biayanya Rp 275 ribu di Puskesmas Pondok Aren.

Dan, syukurlah, dua hari kemudian surat itu sudah di tangan. Sehat secara mental alias waras kejiwaan. Tidak jadi dijemput paksa karena dianggap gila. Hehehehehe…

Leave a Reply

Your email address will not be published.