Krisis Ideologi Pancasila, GAMKI: Tak Cukup Kata-Kata, Hadapi dengan Aksi Konkret

Kasus intoleransi belakangan ini terus mengalami peningkatan. Bahkan dalam beberapa kasus, anak-anak juga turut menjadi korban.

Ada yang diteriaki dengan kalimat bernada hinaan, mendapat intimidasi, hingga mengalami kekerasan fisik.

GAMKI (Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia) memandang situasi ini sudah melampaui batas. Harus ada tindakan nyata untuk menghentikan secepatnya, sebelum mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara.

”Intoleransi terjadi karena ideologi Pancasila tidak lagi dipahami secara sama oleh masyarakat. Tak cukup menghadapi hal ini dengan bersuara, kita harus bergerak konkret, turun langsung mengadvokasi,” kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat GAMKI Sahat MP Sinurat saat membuka Diskusi Publik di Sekretariat DPP GAMKI, Jalan Cirebon, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat, 1 Agustus 2025.

Diskusi terbuka ini mengangkat topik ’Krisis Ideologi Pancasila: Intoleransi dan Persekusi Anak Berbasis Agama Mengancam Indonesia’.

Menurut Sahat, kondisi yang terjadi saat ini memang harus disikapi. Pernyataan sikap, kecaman, dan hal-hal formal lain boleh saja dilakukan. Namun itu belum cukup untuk menyelesaikan masalah.

”Harus ada tindakan nyata. Maka saat kemarin ada kasus, GAMKI langsung turun ke lapangan mengawal penyelesaian kasus. Termasuk memastikan para pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal,” jelasnya.

Sahat menegaskan, kekerasan-kekerasan yang merusak toleransi itu tak bisa sebatas dimaafkan. Sebaliknya, proses hukum harus terus dilanjutkan. ”Jika tidak, tindakan toleransi dan persekusi terhadap anak karena berbeda agama akan terus terjadi,” tegasnya.

Sahat pun memaparkan kerja sama GAMKI dengan Direktorat Tindak Pidana Perempuan, Anak, dan Perdagangan Orang (Dittipid PPA-PPO) Mabes Polri dalam penanganan kasus intoleransi, termasuk pada penegakan hukum terhadap anak korban persekusi retreat di Sukabumi.

Narasumber diskusi ini, Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak, Agustinus Sirait, mengungkapkan bahwa jumlah kasus intoleransi dari tahun ke tahun terus meningkat. Ironisnya, banyak pelaku yang masih berusia muda.

”Melihat fakta di lapangan yang seperti ini, kita harus mengkritisi sistem pendidikan yang ada. Pendidikan toleransi di lembaga-lembaga pendidikan harus lebih diperhatikan,” jelasnya.

Agus Sirait menekankan, saat ini terjadi darurat pendidikan, darurat kekerasan, darurat toleransi, dan darurat teknologi pada anak.

”Bangsa kita sudah hampir 80 tahun merdeka, tapi untuk kebebasan pendirian rumah ibadah masih sangat memprihatinkan,” urainya.

Ia menekankan, salah satu kunci memberikan ruang aman untuk anak-anak kita dimulai dari menjadikan rumah kita sebagai rumah yang selalu beribadah bagi keluarga kita.

Pada kesempatan yang sama, pegiat toleransi Jahenos Saragih menyoroti motif para pelaku yang mendasarkan tindakannya atas dasar agama. Hal ini mengindikasikan adanya pemahaman agama yang salah di tengah masyarakat.

”Negara kita adalah negara hukum. Bukan negara sekuler, bukan pula negara agama. Inilah hal yang harus kita sadari. Saya minta agar para wakil rakyat jangan takut dengan konstituen, tapi takutlah dengan konstitusi,” harapnya.

Moderator diskusi Pendeta Nadia Manuputty menyampaikan, Data Komnas Anak 2024 mencatat ada lebih dari 700 kasus kekerasan dan persekusi terhadap anak karena perbedaan agama dan keyakinan. Angka ini naik 30 persen dibanding tahun sebelumnya.

”Yang paling mengerikan, sebagian besar dilakukan oleh orang dewasa yang mengklaim dirinya beragama,” kata Ketua Bidang Diplomasi dan Hubungan Internasional DPP GAMKI ini.

Di balik angka itu, ada cerita anak yang ditolak sekolah karena tidak ikut upacara agama tertentu. Ada remaja yang dibully karena berbeda keyakinan, ada keluarga kecil yang diusir dari kampung karena tidak sesuai arus mayoritas, dan lain-lain.

”Negara ini bukan negara agama, tapi juga bukan negara anti-agama. Negara ini: Negara Pancasila yang mewajibkan kita untuk menghormati semua keyakinan, bukan hanya yang kita yakini sendiri,” seru Nadia.

Ia menegaskan, jika anak-anak sudah dipaksa memilih iman sebelum mereka belajar berpikir, ”Itu bukan pendidikan, itu penggiringan!”

Untuk itu, GAMKI menegaskan, diskusi ini bukan soal toleransi sebagai wacana. Tapi sebagai keberanian untuk melindungi anak dari tirani tafsir, dari fanatisme buta, dan dari ideologi yang membunuh masa depan.

”Kita tidak sedang berteriak toleransi. Kita sedang menyelamatkan kemanusiaan yang paling dasar: hak anak untuk hidup, belajar, dan tumbuh tanpa rasa takut menjadi dirinya sendiri,” pungkas Nadia.

Leave a Reply

Your email address will not be published.