Sebelas Menuju Madrid

Buku keduapuluh dua Tere Liye yang saya. Judulnya ‘Sebelas’. Setebal 442 halaman. Membuka seloroh lama, “Masak sih dari sekian ratus juta penduduk Indonesia tak bisa menemukan sebelas pemain sepak bola terbaik yang bisa membanggakan Indonesia di pentas dunia?”

Ceritanya mengalir. Dari seorang bule dikejar-kejar imigrasi, menyusup ke lapangan bola, bertemu teman sekaligus rival lama, sampai membentuk tim menuju kejuaraan bergengsi U-17 di Madrid.

Jalan hidup Paul -orang bisa saja menganggap Paul ’Gazza’ Gascoigne sebagai inspirasi Tere Liye melahirkan tokoh ‘The Legendary Paul- berubah saat kembali bertemu David Champione. Lalu, menguak kenangan lama, mereka sepakat menarungkan tim masing-masing dalam turnamen U-17.

Sebelum sampai ke Madrid- yang hanya diceritakan secuil di bab ‘injury time’, ‘daging’ novel ini lebih kepada Paul menemukan starting eleven dan pemain cadangan timnya. Berbagai perjuangan dilakukan demi menggenapi dan menemukan pemain-pemain terbaik di posisinya itu.

Dari kisah menemukan Lorentz di Ilaga sampai bertaruh nyawa dikejar OPM, meminta izin pada ibu asuh yang mempekerjakan playmaker andalan sebagai tukang antar cucian, merayu orangtua yang trauma anaknya main bola karena jera berhadapan dengan mafia bola, sampai membongkar mafia perdagangan orang bermodus ABK demi melengkapi puzzle pemain berposisi kiper.

Buku ini menarik. Kritik soal sepak bola yang lebih ‘memakmurkan’ pengurusnya, sampai menyinggung naturalisasi pemain bule untuk timnas. Tak lupa menyinggung lebih dari 130 korban jiwa meninggal di stadion.

Pada akhirnya, buku ini pun menegaskan, ”Ada banyak hal lebih penting dibanding sepak bola.” Yakni, kemanusiaan dalam kehidupan itu itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published.