Tamasya Bola, Menulis Sepak Bola Mengalir ala Darmanto Simapea

Tulisan buku ini mengalir dan kaya referensi. Seperti tulisan Romo Sindhunata di Kompas, atau opini Rob Hughes yang jadi panutannya di tabloid Bola.

Berterima kasih secara khusus untuk Felix Dass yang memberikan bonus tambahan buku ini sebagai paket hadiah tebak skor kemenangan Liverpool. Dengan membaca buku ini, gairah menulis dengan mengalir kembali muncul.

Buku ’Tamasya Bola, Cinta, Grairah, dan Luka dalam Sepakbola’ setebal 372 halaman. Ditulis Darmanto Simapea, antropolog yang tinggal di Belanda. Latar tulisannya dari Lamongan, Mentawai, Sumatera Barat, hingga Australia dan Belanda.

Darmanto bersama Mahfud Ikhwan mendirikan blog ‘Belakang Gawang‘. Mahfud menulis blog, dan kemudian buku ini, lahir dari perdebatan menjurus pertengkaran. Dari prinsip-prinsip mereka soal diskusi sepak bola. Taktikal maupun personal.

Perbabakan di buku ini dibagi dalam beberapa sekuel. Pertama, berjudul ’Pesta dan Gelak Sedih’. Terkait tulisan pada beberapa even atau momen pertandingan. Misalnya, Final Liga Champons 2015 saat Barcelona menaklukkan Juventus 3-1. Tradisi ’Remontada’ atau memukul balik skor dari kekalahan ke kemenangan. Juga kisah-kisah Barcelona, Manchester United dan juga kisah epik timnas Zambia.

Kedua, terkait figur. Pe(r)sona. Terkait kisah para pelatih, kiper, dan berbagai perjalanan hidup mereka. Sangat detail saat menonjolkan sosok Jose Mourinho. Dari penerjemah Bobby Robson dan Louis van Gaal di Barcelona, hingga jadi salah satu maestro coach terhebat di sejarah sepak bola.

”Mourinho selalu memulai dengan menyalakan api. Pendekatannya terhadap pertandingan seperti memimpin satu barikade pasukan menuju medan peperangan. Setiap konferensi pers adalah penjelasan strategi dan taktiknya. Saat orang bertanya, ’Di mana nilai-nilai senorio -sikap jantan, gentlement- pada pemain dan klub menguap setelah Mourinho datang?’ ’Siapa pedulu!’ dia menjawabnya. ’Kami ingin menang,” tulis Darmanto.

Dua bab lain dalam buku ini diberi judul ’Kuasa dan Politik’. Dari soal besarnya kekuasaan FIFA, hingga terbelahnya PSSI dan Liga Indonesia.

Di akhir bab, ’Tamasya’ berkisah tentang demam sepak bola. Dari lapangan bola di Mentawai hingga Belanda, dan nostalgia kecintaan nan menggebu -dan berakhir dengan ketidaksukaan- pada hadirnya tabloid ’Bola’.

Darmanto dikenal sebagai penulis di ’Mojok’, yang menjadi penerbit buku ini. Sesama penulis sepak bola di Yogyakarta, Yamadipati Seno menulis di Detiksport tentang ’Tamasya Bola’,

”Buku ini memberikan perspektif lain dari penulisan-penulisan soal sepak bola yang di beberapa media yang hanya berisi berita, yang celakanya ditulis dengan gaya monoton.

Bagai sebuah kebun, lembar-lembar Tamasya Bola ini menawarkan kejenakaan, kesenangan, kesedihan, dan diksi menarik yang bisa dipetik sebagai inspirasi. Darmanto menawarkan kebun inspirasinya bagi dunia kepenulisan, sudah sewajarnya kita bertamasya dengan gembira, bukan?”

Selamat terus bertamasya dalam sepak bola, dari hari ke hari, dan minggu ke minggu…

Terima kasih Darmanto dan Felix!

Leave a Reply

Your email address will not be published.