Kisah Pengawasan Pemilu 2024, Legacy Bawaslu Tamiang di Tangan Jurnalis Senior

Sebuah organisasi dalam periode tertentu sebaiknya memiliki ‘legacy’. Apa yang dihasilkan selama kurun waktu berjalannya kepercayaan diemban. Akan lebih baik jika pencapaian itu didokumentasikan sebagai warisan para penerus kelak.

Bawaslu atau Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten Aceh Tamiang punya banyak kisah pada pelaksanaan Pemilu 2024. Ketua Bawaslu Imran, yang sudah dua periode di lembaga ini, punya gagasan -dan merealisasikannya- dalam buku biru setebal 158 halaman.

Berlatar jurnalis Aceh Kita dan Tempo yang kenyang liputan investigasi dan daerah konflik, Imran memotret suka dukanya sebagai pengawas Pemilu dengan detail, apik, dan penuh sisi-sisi manusiawi. Didampingi dua anggota lain, Eki Junianto dan Mutia Arisa serta Koordinator Sekretariat Sayed Mahadi, Bawaslu Aceh Tamiang lintang pukang menghadapi berbagai cerita.

Yang paling heroik yakni kisah kelam di malam rekapitulasi. Saat Ketua Bawaslu Aceh Tamiang memantau rekapitulasi di Gedung DPRK Aceh Tamiang dan tiba perhitungan suara untuk Kecamatan Karang Baru.

Seorang lelaki menghardiknya, “Kenapa angka tidak naik?” merujuk pada perolehan suara calon angggota DPR RI. Imran mengelak dan menjawab tugasnya bukan menaikkan angka perolehan kandidat legislator, karena fungsinya hanya mengawasi proses rekapitulasi. Saat itu, tiba-tiba sebuah pukulan telak menghujam Imran dari belakang, Suasana jadi gaduh dan proses rekapitulasi pun diskors sementara.

Cerita lain terkait kekompakan tim. Tak hanya Bawaslu Kabupaten, tapi juga dukungan dari Panwas Kecamatan. Seperti kejutan usulan menghadirkan flare, bak pertandingan sepak bola di Amerika Latin, saat Apel Siaga Pengawasan, serta kisah keakraban outbond di Gunung Pandan.

Sudah benar latarnya sebagai wartawan Tempo, media yang terkenal dengan jurnalisme sastrawi, judul-judul per bab ditulis dengan tekanan rima bak puisi indah nan mendayu.

Tengoklah kepala berita seperti, ’Merakit Pondasi Agar Semua Terawasi’, ’Kendali Pengawas dari Gedung Tua’, ’Tugas dan Tantangan: Riasan dan Kerikil dalam Pengawasan’, ’Noda dimalam Rekapitulasi’, ’Waktu Molor, Si Rekap Error dan Sering Skor’, ’Hitung Ulang di Kuala Simpang’, dan ’Uji Petik Dikira Petugas Suntik’.

Kalaupun ada kekurangan, nampaknya para penulis buku ini perlu lebih banyak ngopi sanger saat editing, perlu lebih jela dalam urusan penyuntingan bahasa. Misalnya, yang benar adalah ’fondasi’ bukan ’pondasi’. Atau penulisan ’di dalam’ bukan ’didalam’. Sangat wajar, tak ada gading yang tak retak.

Buku ini bisa jadi inspirasi. Bahwa apapun yang kita kerjakan dapat menjadi pegangan bagi abdi negara serupa di daerah lain, atau -pinjam istilah Imran- menjadi sejarah peran para pengawas pemilu bagi generasi mendatang.

Dari sini kita akan sadar, semua pekerjaan kita -apalagi yang digaji negara dari sumber uang pajak rakyat- harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Lagi-lagi, seperti ditegaskan sahabat saya Imran, tantangan, godaan dan riisko memang selalu hadir dalam perjalanan para pengawas Pemilu.

”Namun, menjadi pengawas yang serius, profesional, dan berintegritas adalah panggilan tanggung jawab, keberanian dan komitmen terhadap demokrasi yang lebih jujur dan adil, tidak semudah membasahi bibir,” pungkasnya.

Selamat atas legacy abadinya, wan kawan…

Leave a Reply

Your email address will not be published.