Kuliner Kebun Yustinus Ade Stirman

Tak disangka, bermula dalam sebuah pelatihan penulisan, bertemu sahabat lama. Sahabat di era perjuangan, orang bilang, ”Saat hidup zaman susah…”

Tak lama usai mengakhiri sesi menjadi narasumber pelatihan menulis rilis berita di sebuah kementerian, salah satu peserta yang mengikuti acara lewat zoom dari kota lain menelpon. Dia mengingatkan diri, bahwa kami sahabat lama.

”Ini Jojo yang itu kan? Kita sama-sama di Majalah Penabur Surabaya 1999…” ucapnya. Yustinus Ade Stirman, pria asal Manggarai Barat yang kini berkarir sebagai Fungsional Ahli Muda Penyuluh Lingkungan, Pusat Pengendalian Lingkungan Hidup (Pusdal LH) Jawa, Kementerian Lingkungan Hidup di Surabaya.

Tak sulit mengingat memori itu. Di saat reformasi masih jabang bayi, kami bersama di Penabur, majalah bulanan milik para aktivis Forum Komunikasi Kristiani Indonesia. Berdua kami kerap runtang-runtung liputan artis dan juga event politik. Tapi itu tak lama, karena beberapa bulan kemudian, Yustinus ditugaskan ’babat alas’ membuka kantor biro Penabur di Kebon Jeruk, Jakarta.

Karirnya kemudian berjalan mengikuti angin yang baik. Setelah media kami dilikudasi, Yustinus bergabung di Majalah ’Ozon’ yang kental dengan nuansa lingkungan. Lalu kerap mewawancarai pejabat eselon satu hingga level Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim, Si Burung Phoenix Pencinta Lingkungan. Dari situ, pintunya terbuka, mendapat beasiswa S-2 Universitas Indonesia hingga menjadi staf kementerian. Semua dari merawat kebiasaan menulis yang terus diasah. Ditambah kemampuan menguatkan lobbying dan jejaring bersama orang-orang hebat.

Tengoklah salah satu tulisan terbarunya menyambut Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2025, (COP 30) di Balem, Brasil, yang dimuat di situs kementerian.

Amazon menjadi simbol bagi bumi yang sedang meminta tolong. Dari pepohonan yang menjulang, dari sungai yang mengalir tanpa henti, dunia seakan mendengar bisikan bahwa menjaga alam bukanlah pilihan, melainkan kewajiban moral. Pesan itu menggema hingga ke Nusantara, di mana hutan Kalimantan dan Papua juga memegang peran penting dalam menjaga kestabilan iklim global.

Bagi Indonesia, COP30 adalah kesempatan untuk menunjukkan bahwa perjuangan melawan krisis iklim tidak hanya terjadi di ruang negosiasi, tetapi juga di hutan, pesisir, dan desa-desa yang menjadi garis depan pertahanan bumi. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat adat, dunia usaha, dan generasi muda menjadi kunci keberhasilan menghadapi tantangan ini.

Seperti pepatah Brasil, “Um rio é feito de muitas gotas” — sungai besar terbentuk dari banyak tetes air. Begitu pula masa depan planet ini, dibangun dari langkah-langkah kecil yang dilakukan bersama.

Dari jantung Hutan Amazon hingga ke hutan-hutan tropis Indonesia, dunia diingatkan bahwa menjaga bumi bukan sekadar tanggung jawab generasi ini, tetapi juga janji kepada generasi yang akan datang. COP30 bukan hanya pertemuan antarnegara akan tetapi lebih dari itu, yakni panggilan hati bagi seluruh umat manusia untuk segera bertindak merawat bumi sekarang juga sebelum terlambat.

Nampak sekali sentuhan filosofis dari eks seminaris di setiap tulisannya.

Sepekan kemudian, kami merayakan pertemuan itu -setelah lebih 25 tahun- di Angkringan Kuliner Kebon’s Agro di kawasan Godean km 9, Sidokarto, Sleman. Keluarga Yustinus tinggal di Berbah, tak jauh dari Bandara Adisucipto. Sehari-hari, Yus bekerja di Surabaya -kota tempat kami bertemu, dan menempuh jarak mingguan dua kota lewat jasa Bus Eka yang melaju cepat dari Bungurasih ke Yogyakarta.

Bakmie Godok dan Nasi Goreng Magelangan jadi teman ngobrol malam itu. Hujan deras yang membasahi Yogyakarta seharian menjadi saksi, bahwa persahabatan dan persaudaraan harus tetap jalan, karena kita tak tahu ke mana kehidupan akan membawa.

Terima kasih pertemuannya, kaka Yustinus. Tuhan memberkati hari-hari ke depan. Doanya, segera kembali berkumpul dan ’dikembalikan’ ke tempat tugas di Yogyakarta, hahahaha…

Leave a Reply

Your email address will not be published.