Fim memotret kilas balik Indah Kurna saat menjabat Persebaya di ’era kegelapan’ dihukum PSSI turun kasta pada Liga Indonesia 2006.
Youtube sahabat saya, Miftakhul ‘Fim’ Fahamsyah memberi notifikasi adanya tayangan baru pada podcast ’Omah Bal-Balan’ yang diasuhya. Ini semacam podcast percakapan Fim dengan para legenda sepak bola Indonesia, yang kerap terlupakan.
Fim membawa waktu kembali berputar, saat Indah Kurnia ’kecemplung’ menjadi manajer ’Green Force’ dalam masa susah, karena dihukum PSSI setelah mundur pada laga delapan besar di Senayan, musim sebelumnya.
Perbincangan’ Omah Bal-Balan’ sepanjang 31 menit dengan perempuan kelahiran 11 Agustus 1962 lalu ini menarik. Dibalut dengan dialek Suroboyo khas dan celetukan Indah yang bercampur antara spiritualitas dan konsep manajemen, dipayungi hiasan kepala harimau di ruang tamu lokasi syuting. Mungkin itu rumah Indah Kurnia, yang bintangnya Leo itu. Singa dan macan kan tak terlalu jauh.
Indah memang perempuan Leo, ambisius. Tapi, di tayangan ini ia menjelaskan bagaimana ia Leo yang keibuan. Juga humble, ’menghadap’ three musketers dewa sepak bola Indonesia: Nurdin Halid-Andi Darussalam-Nugraha Besoes.
Anggota DPR RI dari PDI Perjuangan daerah pemilihan Jawa Timur I yang akan masuk periode keempat sejak 2009 ini bercerita bagaimana kala ia mengawali literasi keuangan transaksi non tunai di dunia sepak bola.
“Para pemain lawas sempat protes saat saya bukakan rekening BCA. Jadi, saat gajian atau pembayaran bonus, tak harus saya berikan dalam uang tunai. Mereka bilang, ’uang itu harus diberikan sebelum keringat kering’,” kenang Indah yang kini amat mengangeni para pemain itu.
Perempuan yang bergelut di dunia keuangan dan kesenian ini pun bercerita betapa ia memberanikan mematahkan mitos. Sebelumnya, tak boleh ada perempuan duduk di bench Persebaya. Tapi, ia memaksa mendiang Mohammad Barmen, sesepuh sepak bola Surabaya, untuk mengusir mitos bahwa perempuan adalah pembawa sial bagi ‘Bajul Ijo’.
“Saya hanya ingin di manapun saya berada, saya bisa memberi makna. Apalagi saat itu situasi Persebaya sedang dalam kondisi terpuruk,” ungkapnya.
Indah pun mengungkapkan kedekatannya dengan ’pemain ke-12’ alias suporter setia Persebaya. Betapa Indah mendekati para dedengkot Bonek, terutama agar tak nge-chant yang membuatnya tertekan. Lagu, “Seri kisruh, seri kisruh, opo maneh kalah…”
Kepada para pemain, Indah yang mengaku tak paham teknis sepak bola hanya memberi memotivasi para pemain. Dalam bahasa Surabaya ia menantang para pemain Persebaya, “Nanti kita keluar dari lapangan setelah pertandingan, dengan kepala tertunduk atau ‘ndhangak’ (kepala tengadah?) Kita tak bekerja sendiri-sendiri seperti main bekel atau ping-pong. Kita main kolektif, Rek, TEAM, Together Everyone Achieve More!”
Pertanyaannya pun dijawa positif oleh para pemain semacam Mursyid Effendi, Mat Halil, Bejo Sugiantoro, Taufik, Nova Arianto, Uston Nawawi, Anang Maruf dan lain-lain. “Ndhangak, Bu!”
Menurut Indah, dalam teori manajemen, prinsip sebuah tim, baik sepak bola, bank, maupun organisasi manapun itu sama. “Masing-masing harus berkontribusi bukan untuk keuntungan pribadi, tapi untuk tujuan dan hasil akhir tim itu sendiri,” jelasnya.
Sebagai ibu, Indah ingin para pemain berlaga dengan rasa disayangi, dibutuhkan, dan diharapkan. “Saya tak pernah melempar jeruk ke para pemain. Saya mengambil, dan mengupasnya buat mereka. Itu support yang bisa saya persembahkan untuk mereka,” tukasnya.
Kalaupun ada kekurangannya, tayangan ini kurang menampilkan footage dokumentasi masa lalu. Misalnya, foto, kliping koran, capture media online, atau bahkan video kala itu. Sesuai dengan konteks yang dikatakan Indah, muncullah visual itu.
Thanks, Fim, untuk episode ini, mengingat kenangan Persebaya di kala susah, dan mengingat figur yang berjasa dengan jungkir balik perjuangannya saat itu. Dibumbui teori-teori manajemen dan nilai spiritualitas tinggi.