Leo-san dan Semangat Ganbatte

Selalu asyik bertemu anak muda yang penuh inspirasi. Potret anak muda yang bebas, bekerja keras dan tak mau terikat pada tuntutan tertentu.

Leo Galuh baru punya anak kedua. Gendhis, namanya. Bayi perempuan ini lahir pekan lalu di Bandung. “Saya prihatin, nama anak-anak zaman sekarang makin susah dilafalkan. Sebagai pasangan sesama Jawa, saya berprinsip, nama khas Jawa harus dilestarikan,” ungkap pria asal Semarang beristirakan perempuan asal Kulonprogo itu.

Anak pertamanya pun diberi nama yang tak susah dilafalkan: Deo. ”Ya, karena lahirnya dekat-dekat Natal. Seperti lagu, Gloria in excelsis deo, gitulah,” kata mantan jurnalis di televisi berita nasional yang kini malang-melintang di berbagai media internasional.  Istilahnya, ’freelance contributor’.

Leo mampu menulis, memotret, dan mengambil video. Leo memiliki pengalaman 12 tahun di industri media. Karyanya telah dimuat di tvOne, NHK World News (Jakarta), Acuris, ION Group, Openly News, Context Newsroom, lembaga penyiaran publik Italia Radiotelevisione Italiana (RAI TV), HalalTrip.com, Fair Planet serra Deutsche Welle (Indonesia).

Ia berkisah, mantap mengambil keputusan saat berhenti dari kantor yang memberinya gaji bulanan pasti. Seperti di tv berita nasional, dan juga sebuah lembaga riset asal negerinya Raja Charles. Di sinilah komunikasi dan keyakinan isteri sebagai ‘supporting system’ memberinya energi lebih. Tentu alasannya mundur bukan seperti anak-anak Gen Z yang kini ramai diberitakan suka tak kerasan di dunia kerja setiap menyandung kerikil baru. Leo kelahiran 1997, masuk Generasi Y alias Milenial.

“Saat saya bilang mau berhenti, isteri mengkonfirmasi, ‘Kalau Papa yakin, ya tidak apa-apa. Jalani saja’,” kenangnya.

Maka Leo pun menekuni dunia yang tak terikat jam kantoran. Sekian minggu di Jakarta, sekian pekan di Bandung. Pekerja seminggu dua minggu, bisa untuk hidup beberapa bulan. Tapi, jangan tanya kalau sedang bekerja. Ia sangat detail, presisi, dan kuat dalam perencanaan.

“Kuncinya, jangan kecewakan ‘user’ kita. Tetap harus pede, jangan merasa minder. Sebisa mungkin penuhi permintaannya, misalkan untuk nge-‘blend’ di malam hari setelah bekerja keras seharian,” ungkap lulusan Soegijapranata Semarang itu.

Saat liputan pun, Leo cukup ‘picky’. Ia tak mau hanya liputan ‘press tour’ yang seremonial. “Kalau memang tak menarik, ya jangan diliput. Cari saja yang khusus, yang tak bisa dipikirkan atau didapatkan media lain,” ujarnya, sambil menyantap kopi sanger dingin di Atjeh Connection Sabang, Jakarta Pusat.

Sebaliknya, menurut Leo, kita juga harus membedakan kapan harus eksklusif seperti itu dan kapan harus membaur. “Jangan juga jadi wartawan yang memilih diam saat sesi tanya jawab di konferensi pers. Tapi, setelah acara selesai, minta doorstop atau wawancara sendiri,” tukasnya.

Selain itu, ia juga sedih pada tuntutan media online yang meminta jurnalisnya menyetor minimal lima berita dalam sehari. Pola-pola bekerja mengedepankan kuantitas seperti itu, baginya tidak mencerdaskan. Wartawan dipaksa kerja bak kuda, dan tidak bisa mengembangkan angle yang ‘out of the box’ dan anti mainstream.

Tiga jam terasa pendek menyerap ilmu darinya. Leo menunjukkan portofolionya, baik dari media sosial, maupun gawainya. Terutama bagaimana bekerja profesional dengan orang asing. Kita berdiri tegak, saling berhargai, dan juga mewawancarai pejabat sampai orang kecil murni untuk pemberitaan. Tanpa ‘pemanis’ tertentu.

Leo-san mengingatkan pada Wataru Endo, pekerja keras di lini tengah Liverpool yang terasa kehadirannya saat dirinya tak hadir di tengah lapangan. Semangat Jepang, Ganbatte Kudasai, berikan yang terbaik saat bekerja!

Leave a Reply

Your email address will not be published.