Membayangkan pendidikan di Australia dari buku ini terasa begitu nyata.
Menuntaskan buku setebal 212 karya sahabat lawas Pir Owners serasa melambungkan kita berada di benua kanguru. Tanah yang disebutnya sebagai ‘Nempari’, negeri empat musim dalam sehari, karena cepatnya perubahan musim di sana.
Buku ini menjadi interesting dan useful karena di setiap babnya ada tips. Semacam resume dari halaman-halaman sebelumnya. Misal ada tips bagaimana bersekolah di Melb, lengkap dengan cara membawa anak ke sana.
Kali lain, ia membagi tips bagaimana bisa diterima di perguruan tinggi di negara bagian Victoria itu, terutama menyiasati bisa memperoleh nilai IELTS sesuai ketentuan. Pir sendiri, lewat tokoh yang dikisahkan Reno di buku itu, tak malu berkisah tentang perjuangannya berkali-kali menembus tes kemampuan berbahasa Inggris. Termasuk romansanya bersimulasi percakapan dan ujian bersama sang pendamping hidup.
Juga ada tips menjalin hubungan baik dengan berbagai komunitas di sana. Menyapa para ’senior’ dan tidak malas berelasi dengan kawan-kawan, terutama seperantauan, dan senasib sebagai calon doktor.
Pun ia sampaikan tips mencari uang tambahan di negeri orang. Seperti pekerjaan mengantar koran dengan mobil keliling komplek perumahan dengan segala dinamikanya. Berhadapan dengan petugas satpam, atau berkejaran dengan waktu saat susahnya disiplin pada cuaca dan iklim yang sama sekali berbeda dengan Indonesia.
Ada pula tips kuliner di Melb, hingga cara mencari mobil bekas di sana.
Kalaupun ada kurangnya, buku ini sangat miskin visual. Ilustrasi di dalamnya, baik foto, gambar peta atau sketsa apapun yang menggambarkan kota penyelenggara salah satu turnamen grand slam tenis dunia yakni kejuaraan legendaris ‘Australian Open’, bisa dibilang nyaris tak ada.
“Saya tidak hendak bermaksud menjadikan buku ini sebagai cerita yang mementingkan diri saya saja. Orang Melbourne menyebutnya, ’you are not the center of universe, mate!,” kata Pir pada epilog buku ini.
Ayah dua anak ini berharap, ‘Nempari’ bisa memberikan informasi kisah perjalanan anak bangsa menempuh studi di luar negeri dan saat kembali ke Indonesia bisa memberi manfaat sebanyak mungkin. Kembali ke sebuah negeri, yang cara memperlakukan pejalan kakinya sangat tidak manusiawi, berbanding 180 derajat dengan cara warga Australia memuliakan pengguna trotoar dan jalur pedestrian.
