Negeri di Ujung Tanduk, Tabrak-Tubruk Lawan Mafia Hukum

Kembali menamatkan baca buku Tere Liye. Kali ini menghabiskan dalam perjalanan ke Yogyakarta.

Setelah ’Negeri Para Bedebah’, terbitlah ’Negeri di Ujung Tanduk’. Tak sengaja saya meminjamnya di Perpustakaan Kementerian Komunikasi dan Informatika sebagai urutan dari seri sebelumnya. Kadang tak bisa tahu kan, mana yang jadi urut-urutan. Ada pula buku lain berjudul yang sentimen judulnya hampir sama: ‘Bedebah di Ujung Tanduk’, dan ’Tanah Para Bandit’.

Kisah di ’Negeri di Ujung Tanduk’ tak jauh beda dengan ’Negeri Para Bedebah’. Lanjutan Thomas, sang jagoan dalam serial ini, memberantas para penjahat (dia beri nama ‘mafia hukum’ yang kemudian viral), yang puluhan tahun silam menghancurkan keluarganya. Termasuk memanggang tewas kedua orangtuanya.

Bedanya, kali ini Thomas tak hanya berperan sebagai ekonom. Ia melebarkan sayap jadi konsultan politik. Kliennya berinisial JD, mantan wali kota dan gubernur yang sukses. Sudahlah, tak usah direka-reka akan inisial ini.

JD ikut konvensi sebuah partai dan selanjutnya diharapkan jadi presiden yang jujur. Bukan anak orang besar. Bahkan seperti Thomas, lulusan sebuah sekolah anak yatim-piatu di ujung Jawa yang kental dengan pembentukan karakter.

Jelang berangkat konvensi di Denpasar, JD ditangkap dengan tuduhan korupsi mega proyek tunnel raksasa saat jadi gubernur ibu kota.

Selanjutnya, bak film thriller, kejar-kejaran dan aksi berlangsung. Dari Jakarta hingga Hong Kong.

Buku setebal 359 halaman terbitan Sabak Grid ini sangat direkomendasikan untuk dibaca. Cocok membayangkan ‘ontran-ontran’ politik negeri ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published.