Sarabba dan Prof Judha

Kalau ke Makassar, jangan lupa rasakan hangatnya minuman Sarabba.

Sarabba adalah minuman khas Sulawesi Selatan. Minuman tradisional ini identik dengan aroma dan rasanya yang sedikit pedas. Dibuat dari campuran jahe, gula merah, santan, dan sedikit merica, sarabba disajikan dengan pisang goreng dan ubi goreng, tak lupa dengan tambahan sambal khas.

Umumnya sarabba ditawarkan dalam tiga varian, yaitu sarabba biasa, sarabba telur, dan sarabba susu. Sarabba biasa memiliki rasa orisinal atau asli tanpa tambahan bahan lain.

Adapun sarabba telur disajikan dengan tambahan kuning telur, sedangkan sarabba susu disajikan dengan tambahan susu. Masing-masing varian tersebut tentu memiliki cita rasa dan daya tarik tersendiri.

Masyarakat Makassar kerap mengonsumsi sarabba untuk menghangatkan tubuh. Sarabba juga berfungsi mengembalikan stamina setelah beraktivitas seharian.

“Belum menikmati sarabba di tempat paling khas, toh?” kata Judhariksawan malam tadi. Profesor hukum Universitas Hasanuddin ini menekankan, sarabba di Makassar paling enak ada di kawasan Sungai Cerekang. Meski semalam sebelumnya sudah mencicipi sarabba di pinggir Pantai Losari, tak ada salahnya mengiyakan perjalanan ke lokasi legendaris.

Dan benar saja, puluhan pedagang sarabba berjajar di Jalan Sungai Cerekang, Kecamatan Bontoala, Kota Makkasar itu.

”Ini masih belum seberapa. Kalau malam Minggu lebih banyak lagi pengunjungnya. Bisa susah sekali kita bergerak,” kata pakar hukum penyiaran yang juga Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat 2013-2016 itu. Bersama Bekti Nugroho, anggota Dewan Pers 2007-2013 dan KPI 2013-2016, kami menikmati sarabba sembari bergosip tentang politik masa lalu, kini, dan mendatang.

Prof Judha berujar, sarabba adalah minuman saat jam makan malam anak muda Makassar. ”Jam minumnya jam 10 malam. Karena itu, makan malam makin ramai,” kenang pria 55 tahun yang di depan para bule menyebut namanya sebagai ‘Star Wars’ itu.

Ia pun mengingat tempatnya bersekolah dulu. SMA Negeri 1 Makassar, di Jalan Gunung Bawakaraeng, ada di ujung pertigaan markas kedai Sarabba itu.

Catatan lain, lokasi yang ekses sejak awal 1980-an ini menjadi tempat berkumpul berbagai segmen masyarakat. Dari anak muda bermotor, intelektual, politisi dan aktivis sampai orang-orang berkelas yang datang dengan Alphard. Sengaja tak mau melewatkan malam di Makassar tanpa minuman khas pembangkit semangat. Begitupula mereka yang mencari remahan rezeki. Dari pengamen dengan alat musik gitar dan drum cajon, penjual tisu, pengemis dengan cacat jari tangan berukuran raksasa, sampai perempuan penjual rokok berhadiah korek gas dengan seragam khasnya.

”Di masa pandemi, Sarabba jadi rekomendasi untuk menambah imun tubuh. Bukannya tutup, tempat ini malah laris manis saat Covid-19.” kata ayah tiga anak ini.

Terima kasih Prof Judha, terima kasih Sarabba, minuman egaliter Makassar yang konon berasal dari Arab, karena miirp sajian minukan di Mekkah saat buka puasa, memberi catatan istimewa pada perjalanan empat hari tiga malam ke ”Centre Point of Indonesia’ kali ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published.