Ayahku (Bukan) Pembohong: Bahagia Itu dari Hati

Buku ini mengajarkan, bukan soal dongeng itu fakta atau tidak, tapi bagaimana kita menyadari ’value’-nya. Termasuk, bahwa kebahagiaan dan umur panjang dalam hidup ini bukan dari berlimpahnya materi.

Satu buku mengagumkan lagi dari Tere Liye. Meski, entahlah, pada bagian-bagian tertentu saya seperti merasa pernah membaca kisah itu.

Cerita tentang Dam -entah siapa nama lengkapnya- merasa terhibur, tapi juga sebal, benci, dan marah luar biasa pada ayahnya yang sering bercerita. Dongeng yang mengundang penasaran, sampai dicek ke mana-mana dan ke mesin pencari di internet tanpa bertemu jawaban benar atau tidak.

Baik itu kisah tentang Lembah Bukhara, Apel Emas, Si Nomer Sepuluh, Sang Kapten sampai Danau Para Sufi.

Pesan terbesar buku ini ada pada rangkaian kalimat di halaman-halaman akhir.

Hakikat sejati kebahagiaan bak membuat hati bagai danau dalam dengan sumber mata air sebening air mata.

Bagi ayah Dam, bahagia adalah ketika ia tak memilih tidak menjadi pejabat, tapi menjalani hidup sederhana. Berprasangka baik ke semua orang, berbuat baik bahkan pada orang yang baru dikenal, menghargai orang lain, kehidupan, dan alam sekitar.

Dengan bahagia, punya hati lapang, hati yang dalam, mata air kebahagiaan itu akan mengucur deras. Tak ada kesedihan yang bisa merusaknya, termasuk kesedihan karena cemburu, iri, atau dengki dengan kebahagiaan orang lain.

Sebaliknya, kebahagiaan atas gelar hebat, pangkat tinggi, kekuasaan, harta benda, itu semua tidak menambah sedikit pun beningnya kebahagiaan yang kita miliki.

Di balik haru-biru kisah buku setebal 299 halaman ini, terucap selamat menemukan bahagia dalam definisi kita. Bukan bahagia yang artifisial atau anggapan banyak orang.

Leave a Reply

Your email address will not be published.