Series Zona Merah di platform vidio.com sangat memukau. Terutama karena banyak aktor ’teater’ keren terlibat di dalamnya.
Awal melihat promo ‘Zona Merah’ di area MRT Bundaran Hotel Indonesia. Poster pemeran utamanya, Lukman Sardi, Aghniny Haque, Andri Mashadi dan kawan-kawan terpajang di sana. Menggugah untuk menontonnya.
Ketika beberapa hari lalu menghabiskan series ini satu per satu episode -total delapan episode- banyak pesan moral terselip di sana.
Film yang berlatar di sebuah desa fiktif bernama Rimbalaya -syutingnya di kawasan Blora- menampakkan sebuah kekuasaan dinasti yang bengis. Pemerintahan Zaenal Effendi siap mengoper tampuk kekuasaan. Zaenal (Lukman Sardi) akan melangkah ke jenjang pusat (DPR RI), sementara jabatan bupati bakal diserahkan ke anaknya, Dandy (Haru Sandra Hanindra). Peran antagonis wakil bupati Dyah Ayu Maharani dilakoni dengan apik oleh Ruth Marini, mantan ASN yang pernah tujuh tahun jadi ajudan Gubernur Lampung.
Hingga wabah ‘mayit’ alias mayat hidup merebak di Rimbalaya dan desa-desa sekitarnya. Kekacauan terjadi awalnya karena seorang korban ‘kerja paksa’ penebangan liar di hutan Rimbalaya mati dan dari luka di kaki menjadikan dirinya sebagai semacam zombie. Secara berantai ia menggigit manusia lain. Jika yang digigit kena leher, langsung menjadi ’mayit’ lain. Jika gigitan pada kaki, perlu waktu sehari untuk menular jadi zombie.
Mengapa dinamai ’mayit’, sang sutradara punya alasan sendiri. Menaikkan ’kearifan lokal’. ”Karena kami juga ingin kita punya ‘zombie kita sendiri’, maka dipilihlah nama yang dikenal luas oleh masyarakat indonesia, yaitu mayit,” jelas Fajar Martha Santosa, salah seorang sutradara film ini.
Dua jempol teracung untuk thriller lokal ‘Zona Merah’. Menghadirkan ketegangan, romantisme, jurnalisme investigasi, sekaligus angkara rakyat melihat otoritariasnisme.
Layak ditonton!