Cinta, Takdir, dan Rasa Memiliki dalam ’Sunset Bersama Rosie’

Buku kedua belas Tere Liye yang saya baca. Bercerita tentang cinta, kesetiaan, kerja keras, persahabatan, dan perjuangan ’menolak’ kata hati.

 “Percaya atau tidak, membayangkan seperti apa hebatnya perasaan itu akan jauh lebih hebat dibandingkan kalau aku benar-benar tiba di sana, bukan? Bisa jadi aku kecewa setelah benar-benar tiba di sana, ternyata semua itu tidak sehabat yang kubayangkan.”

Perkataan seorang penyelam muda di Gili Trawangan itu begitu mengena bagi Tegar, tokoh utama dalam buku ’Sunset Bersama Rosie’ setebal 408 halaman.

Ini kisah tentang Tegar, seorang anak NTB (beda lagi setting sosok sentral dalam novel Tere Liye setelah Sumatra dan Kalbar), yang merasa telat mengungkapkan rasa cintanya pada Rosie. Tegar dan Rosie, bersahabat sejak kecil di Gili Trawangan, naik gunung bareng dan sebagainya. Dua puluh tahun bersama.

Namun, ‘kesalahan’ terlalu malu -atau menganggap lawan jenisnya sudah mengerti- membuat Tegar disalip Nathan, pemuda asal Gili Meno, yang baru dua bulan dia kenalkan dengan Rosie. Dua puluh tahun Tegar kalah oleh dua bulan Nathan yang langsung ‘menembak’ Rosie saat naik Gunung Rinjani bersama.

Lalu, Tegar ‘menghilang’. Dalam sakit hati dan kepedihannya. Menuntaskan kuliah di Bandung, menjadi profesional muda sukses bidang keuangan di Jakarta, membeli apartemen mewah dan rumah di Kemang. Hingga rekonsiliasi tiba, saat Rosie dan Nathan membawa dua putri pertama mereka di depan pintu apartemen Tegar.

’Bom’ dari kisah ini adalah ledakan bom teroris di Jimbaran. Singkatnya, Nathan menjadi korban meninggal, Tegar langsung terbang ke Bali, mengurungkan pertunangan dan rencana pernikahannya dengan Sekar, lalu hidup dua tahun di Gili Trawangan merawat keluarga Rosie bersama keempat putrinya yang -seperti ibunya- bernama bunga: Anggrek, Sekar, Jasmine, dan Lili.

Demikianlah halaman demi halaman, bab demi bab dalam buku ini bicara naik turun, maju mundur tentang cinta lama, kesetiaan, kenangan abadi dan keputusan-keputusan.

Cinta masa lalu -yang berubah jadi persahabatan-, atau pacar baru yang lebih cantik dan jelas total mencintai. Mana yang kira-kira ‘dimenangkan’ Tere Liye? Dimenangkan oleh kata hati itu, tanpa ada ’korban pe ha pe’ lagi…

Banyak kutipan menarik di buku ini

”Kata orang bijak, kita tidak pernah merasa lapar untuk dua hal. Satu, karena jatuh cinta. Dua, karena kesedihan yang mendalam. Maka akan lebih menyakitkan akibatnya ketika kita mengalami jatuh cinta sekaligus kesedihan yang mendalam.”

”Kau tidak akan mendapatkan seseorang kalau kau terlalu mencintainya.”

”Apakah dunia memang begtu? Kita tidak akan pernah mendapatkan sesuatu jika kita terlalu menginginkannya. Kita tidak akan pernah mengerti hakikat memiliki, jika kita terlalu ingin memilikinya.”


”Tak Peduli seberapa membahagiakan atau menyedihkan, hidup harus terus berlanjut. Waktulah yang selalu menepati janji dan berbaik hati mengobati segalanya.”

”Tahukah kau, untuk membuat seseorang menyadari apa yang dirasakannya, justru cara terbaik melalui hal-hal menyakitkan. Misalnya kau pergi. Saat kau pergi, seseorang baru akan merasa kehilangan, dan dia mulai bisa menjelaskan apa yang sesungguhnya dia rasakan.”

Hari ini, di Pasar Lama, Tangerang, saya menamatkan buku ini. Bijaklah dalam hidup, jangan terlalu mengingini, tapi berdoa dan bertekunlah untuk itu. Jika memang Tuhan merestuinya, ia akan datang dengan mudah untukmu.

Leave a Reply

Your email address will not be published.