Kembali ke Jogja, kembali ke Fisipol UGM, merasakan atmosfir disksusi mahasiswa.
Terakhir ke Yogyakarta, Agustus 2024, sempat jogging pagi di kawasan Universitas Gadjah Mada. Berpose di depan Fakultas Hukum dan terutama Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (Fisipol).
Kali ini ke Yogyakarta, bahkan sempat menjelajah hingga lantai 4 Fisipol. Masuk ke auditoriumnya. Mengikuti Seminar yang digelar Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) bertopik ’Urgensi Revisi UU Pemilu dalam Upaya Perbaikan Sistem Pemilu’.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin menjadi pembicara kunci pada event yang juga menghadirkan duo pakar hukum tata negara ’bintang film’ Dirty Vote: Feri Amsari dan Zainal Arifin Mochtar.
Narasumber lain, dosen Fisipol UGM Abdul Gaffar Karim dan Direktur Eksekutif Perludem Khoirunissa ’Ninis’ Nur Agustyati dimoderatori Manajer Program Perludem Fadli Ramadhanil.

Pada kesempatan ini, Bang Zul -sapaan akrab politisi Partai Golkar itu- enyatakan bahwa semakin ’luber’ sistem Pemilu, maka demokrasi kita pun akan semakin baik. Bang Zul mengutip Teori Kedaulatan dari The Six Bookes of a Commonweale, karya filsuf politik Prancis Jean Bodin. Bodin membagi teori kedaulatan dalam lima teori, yakni Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Raja, Kedaulatan Rakyat, Kedaulatan Negara, dan Kedaulatan Hukum.
”Kekuasaan yang didapat, seharusnya dipertahankan untuk yang memberi kekuasaan itu. Kritik itu menghendaki bahwa kekuasaan itu harus dipergunakan untuk yang memilih kita. Dalam hal ini rakyat. Kita harus menempatkan rakyat sebagai sentral, bukan elit/penguasa jadi sentral,” ungkapnya.

Terkait proses RUU Perubahan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025, jika penyusunannya nanti akan dilakukan oleh Komisi 2 DPR RI, akan melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya.
”Demokrasi sendiri, terkait erat dengan teori kedaulatan rakyat, yang menempatkan rakyat (citizen) sebagai epicentrum pemerintahan. Dalam arti, kekuasaan yang didapat dan dipertahankan harus dipergunakan untuk kepentingan rakyat sebagai pihak yang memberi kekuasaan itu,” urainya.
Oleh karena itu, perubahan UU Pemilu mesti diarahkan untuk menjaga bahkan memperkuat kedaulatan rakyat itu sendiri.

Perempuan Cerdas
Di sela acara ini, bersua juga dengan seorang perempuan smart yang memoderatori acara. Nama panjangnya Dhivana Anarchia Ria Lay, akrab disapa Arsya Lay.
“Ya sudah semester akhir, doakan lekas lulus,” kata Arsya yang tengah mempersiapkan skripsi membedah salah satu strategi komunikasi salah satu kandidat pada Pilpres 2024.
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Arsya putri kedua dari mendiang dosen hukum UGM, Profesor Cornelis Lay, aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berada di balik layar lahirnya pidato-pidato hebat tokoh-tokoh bangsa ini.
Tapi, tentu saja Arsya punya bintang sendiri. Tak hanya ’nebeng’ dari nama besar Bang Conny.
Sukses selalu Arsya meraih citamu!