Daniel Tanamal, Keputusan Hijrah ke Jogja, dan Kearifan-Kearifan Itu

Broadcaster radio kristiani ini punya gambaran jelas dalam hidup berkeluarga. Setiap sepuluh tahun pindah kota domisili. Agar tidak bosan.

Sudah lebih dua tahun Daniel Tanamal tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta. Menepi dari kehidupan di Jakarta nan sibuk dan keras. Bersama isterinya Teresa Yoffani dan dua anak Jemima dan Joel Castro, ia memutuskan pindah ke Kota Gudeg sesuai ’kesepakatan awal’ saat berumahtangga.

”Saat itu, kami sudah berencana, kalau bisa setiap sepuluh tahun pindah tempat kehidupan,” katanya dalam perbincangan santai berteman rice bowl ayam sambal matah di Hotel Artotel, Jalan Kaliurang, Sleman.

Soal konsep hidup ’Slow Living’ yang didengung-dengungkan di Jogja, Daniel merasa tetap menikmatinya.

“Awalnya merasa mengalami ‘shock culture’, sih,” kata broadcaster Radio Pelita Kasih (RPK) Jakarta selama 7,5 tahun sembari tertawa lepas.

Pengurus Persatuan Wartawan Nasrani (Pewarna) ini mencontohkan, shock culture yang paling terasa adalah soal klakson. Jarang sekali orang Jogja membunyikan bel motor atau mobil saat berkendara di jalan.

“Kalaupun ada yang nglakson, bukan karena disuruh jalan cepat,  tapi justru karena kenal. Nyapa. Hei, mau ke mana? Saya jadi kaget deh,” kisahnya.

Daniel senang karena masih dapat menjumpai ’keramahan yang orisinil’ di desa-desa di Kabupaten Sleman. Misalnya, saat mengisi angin ban motor, dan pemilik usaha jasa itu tak mau dibayar.

”Wis, Mas, jalan saja, gak papa-papa. Padahal saya tidak kenal lho, kan jadi heran ya,” ucapnya.

Atau kali lain misal belanja habis Rp 6.500, ternyata penjualnya malah bilang, ”Sudah, Mas, bayar lima ribu saja. Padahal uang seribuan saya juga ada, cuma masih dicari. Tetap aja maunya dibayar lima ribu,” cerita Daniel yang tinggal di kawasan Ngemplak, Sleman.

Hidup di Jakarta yang orang bilang ’cari duit itu gampang’, kemudian hijrah ke Jogja dengan standar Upah Minimum relatif rendah, Daniel bersyukur Tuhan tetap mencukupi hidupnya.

“Jauh sebelum orang kota rame dengan tren ‘frugal living’, di sini terasa sekali budaya prihatin itu. Kalau dapat uang yang dihemat, kalau tidak dapat ya makan seadanya. Nrimo, gak mau menyalahkan orang lain, dan selalu bersyukur atas apa yang diterima,” jelasnya.

Kreativitas terpacu

Dengan upah sebagai karyawan terbilang rendah, Daniel melihat di sinilah lahir kreativitas orang Jogja menjadi entrepreneur, membuka usaha dagang, jualan online, hingga level jadi pengekspor.

“Saya lihat dengan mata kepala sendiri, dengan kompleksitas budaya Jogja yang unik, ternyata bisa lho, asal mau cari jalannya,” tukasnya.

Setelah dua tahun pindah ke Jogja usai sepuluh tahun berumah tangga di ibu kota, timbul pikiran dari Daniel untuk terus tinggal di Jogja.

“Secara saya tidak dilahirkan di sini, kayaknya menetap di sini nyaman, deh. Tidak ada yang memberatkan tinggal di Jogja. Termasuk kalau nanti ada investasi ke mana-mana, baliknya ke Jogja lagi,” kata Daniel.

Keputusan memilihkan sistem pendidikan ’homeschooling’ bagi sepasang anaknya, yang berkarakter sangat aktif dalam beraktivitas.

”Ada tatap mukanya juga sebulan sekali. Juga peralatan sekolah yang dikirim sebagai alat peraga, buku, modul, dan lain-lain,” kata lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Kristen Indonesia itu.

Kini, Daniel menikmati hari-hari sebagai broadcaster jarak jauh, serta freelancer desainer. Sembari menikmati Jogja yang selalu Istimewa baginya dan keluarga.

Leave a Reply

Your email address will not be published.