Rindu… Perjalanan Haji dengan Berbagai Story

Ini buku keempat belas Tere Liye yang saya tamatkan. Kalau ada film bertema ’road movie’, maka buku ini bisa jugalah disebut bertema perjalanan.

Lumayan tebal, 520 halaman. Berkisah tentang perjalanan di atas kapal menuju tanah suci. Latarnya dimulai pada 1 Desember 1938 di Pelabuhan Makassar. Kapal uap kargo besar asal Belanda, Blitar Holland, datang untuk mengangkut ribuan jamaah calon haji. Berturut-turut penumpang naik dari Makassar, Surabaya, Semarang, Lampung, Bengkulu, Padang, Banda Aceh lalu berlayar ke Jeddah.

Dalam perjalanan itu, begitu banyak hal terjadi. Dari pertempuran pejuang tanah air melawan Belanda di Pasar Turi, Surabaya, tepat saat kapal transit di Tanjung Perak. Ada pula kala mesin kapal mati sebelum sampai di pelabuhan besar Kolombo, Srilanka, sehingga terombang-ambing di tengah laut sampai bantuan tiba. Tapi, sebelum kapal pengerek datang, muncullah akal luar biasa dari kelasi Ambo Uleng: memanfaatkan layar kapal sebagai sumber tenaga angin untuk menuntun laju tanpa harus terhenti.

Bumbu-bumbu lain disampaikan Tere Liye di sini. Dari ilmu tentang teknik perkapalan, kisah pengampunan atas diri sendiri dari seorang mantan ’cabo’ alias pelacur era Belanda yang kemudian jadi guru ngaji, hingga inspirasi dari kakek-nenek asal Semarang yang akhirnya meninggal di lautan sama pada perjakanan pulang dan pergi haji.

Pembajakan kapal oleh perompak Somalia juga jadi ’game changer’ cerita ini. Tak lama setelah Gurutta Ahmad Karaeng dipenjara di kapal karena dianggap menghasut dengan penulisan buku berjudul ’Kemerdekaan Adalah Hak Segala Bangsa’. Khas Tere Liye, kisah pertempuran itu menjadikan pembaca bukunya seperti nonton film thriller.

Buku ini menyajikan beberapa kata-kata magis, dalam beberapa dialog kuatnya. Antara lain,

“Lepaskanlah. Maka besok lusa, jika dia cinta sejatimu, dia pasti akan kembali dengan cara mengagumkan. Ada saja takdir hebat yang tercipta untuk kita. Jika dia tidak kembali, maka sederhana jadinya, itu bukan cinta sejatimu. Hei, kisah-kisah cinta di dalam buku itu, di dongeng-dongeng cinta, atau hikayat orang tua, itu semua ada penulisnya.
Tetapi kisah cinta kau, siapa penulisnya? Allah. Penulisnya adalah pemilik cerita paling sempurna di muka bumi. Tidakkah sedikit saja kau mau meyakini bahwa kisah kau pastilah yang terbaik yang dituliskan.”

“Cara terbaik menghadapi masa lalu adalah dengan dihadapi. Berdiri gagah. Mulailah dengan damai menerima masa lalumu. Buat apa dilawan? Dilupakan? Itu sudah menjadi bagian dari hidup kita. Peluk semua kisah itu. Berikan dia tempat terbaik dalam hidupmu. Itulah cara terbaik mengatasinya. Dengan kau menerimanya, perlahan-lahan dia akan memudar sendiri. Disiram oleh waktu, dipoles oleh kenangan baru yang lebih bahagia.
Apakah mudah melakukannya? Itu sulit. Tapi bukan berarti mustahil.”

“Berhenti lari dari kenyataan hidupmu. Berhenti cemas atas penilaian orang lain, dan mulailah berbuat baik sebanyak mungkin.”

“Tidak mengapa kalau kau patah hati, tidak mengapa kalau kau kecewa, atau menangis tergugu karena harapan, keinginan memiliki, tapi jangan berlebihan. Jangan merusak diri sendiri. Selalu pahami, cinta yang baik selalu mengajari kau agar menjaga diri. Tidak melanggar batas, tidak melewati kaidah agama. Karena esok lusa, ada orang yang mengaku cinta, tapi dia melakukan begitu banyak maksiat, menginjak-injak semua peraturan dalam agama, menodai cinta itu sendiri.”

“Saat kita tertawa, hanya kitalah yang tahu persis apakah tawa itu bahagia atau tidak. Boleh jadi, kita sedang tertawa dalam seluruh kesedihan. Orang lain hanya melihat wajah. Saat kita menangis pun sama, hanya kita yang tahu persis apakah tangisan itu sedih atau tidak. Boleh jadi kita sedang menangis dalam seluruh kebahagiaan. Orang lain hanya melihat luar.”

“Tidak selalu orang lari dari sesuatu karena ketakutan atau ancaman. Kita juga bisa pergi karena kebencian, kesedihan, ataupun karena harapan.”

“Hanya dua hal yang membuat seorang pelaut tangguh berhenti bekerja di tempat yang dia sukai, lantas memutuskan prgi naik kapal apa pun yang bisa membawanya sejauh mungkin ke ujung dunia, Satu karena kebencian yang amat besar, satu lagi karena cinta yang teramat dalam.”

“Kita tidak perlu menjelaskan panjang lebar. Itu kehidupan kita. Tidak perlu siapa pun mengakuinya untuk dibilang hebat. Kitalah yang tahu persis setiap perjalanan hidup yang kita lakukan. Karena sebenarnya yang tahu persis kita bahagia atau tidak, tulus atau tidak, hanya kita sendiri. Kita tidak perlu menggapai seluruh catatan hebat menurut versi manusia sedunia. Kita hanya perlu merengkuh rasa damai dalam hati kita sendiri.
Kita tidak perlu membuktikan apa pun kepada siapa pun bahwa kita itu baik. Buat apa? Sama sekali tidak perlu. Jangan merepotkan diri sendiri dengan penilaian orang lain. Karena toh, kalaupun orang lain menganggap kita demikian, pada akhirnya tetapi kita sendiri yang tahu persis apakah kita memang sebaik itu.”

“Jangan rusak kapal kehidupan milik kau, Ambo, hingga dia tiba di dermaga terakhirnya.”

“Perjalanan kita mungkin masih jauh sekali. Tentu saja bukan perjalanan kapal ini yang kumaksud. Meski memang perjalanan ke Pelabuhan Jeddah masih berminggu-minggu. Melainkan perjalanan hidup kita. Kau masih muda. Perjalanan hidupmu boleh jadi jauh sekali, Nak.

Hari demi hari, hanyalah pemberhentian kecil. Bulan demi bulan, itu pun sekedar pelabuhan sedang. Pun tahun demi tahun, mungkin itu bisa kita sebut dermaga transit besar. Tapi itu semua sifatnya adalah pemberhentian semua. Dengan segera kapal kita berangkat kembali, menuju tujuan paling hakiki.

Maka jangan pernah merusak diri sendiri. Kita boleh benci atas kehidupan ini. Boleh kecewa. Boleh marah. Tapi ingatlah nasihat lama, tidak pernah ada pelaut yang merusak kapalnya sendiri. Akan dia rawat kapalnya, hingga dia bisa tiba di pelabuhan terakhir. Maka, jangan rusak kapal kehidupan milik kita, hingga dia tiba di pelabuhan terakhirnya.”

Leave a Reply

Your email address will not be published.