Buku Kelimabelas Tere Liye yang saya baca. Ngepop, ala Hilman. Memberikan message kuat tentang persahabatan dan perjuangan dalam hidup.
“Cokelat itu perumpamaan yang bagus. Contoh yang baik kalau kita dalam masalah. Batang cokelat ini manis dan enak, kan? Lezat mengundang selera. Tapi tahukah kita, biji buah cokelat itu aslinya sangat pahit. Binatang liar akan membuangnya saat memakan buah cokelat. Itulah perumpamaan sebuah masalah. Pahit dan menyakitkan.
Sekarang, setelah dicampur gula, susu, dan krim… Cring! Cokelat ini menjadi begitu menyenangkan. Terasa manis. Begitulah seharusnya kita menghadapi masalah yang menyakitkan. Diberikan gula penerimaan, diberikan susu kata maaf, ditaburi krim ketulusan, maka semuanya terasa melegakan. Terasa damai!”
Ungkapan filosofis Putri kepada sahabatnya, Lin alias Linda tokoh utama novel bertajuk ’Rasa’ ini mengutip pernyataan Guru Bimbingan Konseling, Miss Lei.
Masalah akan senantiasa datang dalam hidup ini, tapi jangan biarkan dia membuat hidup kita jadi sesak. Bak cokelat yang aslinya tak manis, perlu dipoles agar enak dinikmati. Begitulah hidup.
Perlu 12 hari melahap novel setebal 419 halaman ini. Karya yang membuktikan Tere Liye sebagai penulis serba bisa. Kali lain ia menulis seluk-beluk ekonomi dengan begitu dalam, sesuai profesi utamanya sebagai akuntan. Juga menulis keras soal politik, korupsi, permainan di partai politik dan lain-lain.
Di ’Rasa’, saya seperti dibawa ke masa-masa SMP saat membaca serial Lupus karya almarhum Hilman Hariwijaya. Cerita bersambung, novel, dan film yang kemudian menginspirasi jalan hidup saya jadi jurnalis.
Persamaannya, di novel ‘Rasa’ ini Tere banyak menggambarkan latar situasi. Tak beda dengan Hilman yang melukiskan tentang suasana alam di sekitar lokasi cerita itu. Di ’Rasa’ kerap digambarkan setting alam, dari bulan sabit menghias angkasa, hingga cerita burung hantu di dekat rumah Lian. Berapa jumlah mereka, berburu berapa tikus got. Sampai jumlahnya kian banyak karena musim mudik, hingga burung-burung itu memutuskan bermigrasi.
’Rasa’ memang berfokus pada hidup Lian. Dari semangatnya menimba ilmu fotografi, belajar kimia hingga mimpi menembus Olimpiade Berlin, sampai menjadi ketua panitia festival foto SMA 1. Klimaks terjadi saat ia berebut cowok dengan sahabat baiknya, Jo, anak seorang produser film terkemuka yang rendah hati biasa naik angkot membersamainya.
Selain kisah utama itu, ada beberapa side story yang juga cukup menyentuh memberi pesan. Perselingkuhan ayah Lin dengan sahabat ibunya, yang kemudian melahirkan Putri. Di sinilah Bunda Lin bergumul untuk memberikan rasa maaf atau tidak.
Ada juga cerita sampingan tentang percintaan tetangga rumah Adit dan Sophi, Aurel dan Niko sang playboy, perjuangan majalah dinding sekolah antara menyebar gosip dan menguak kebenaran, sampai kisah Agus sang jago basket, teman sekelas Lin yang hobi menguap karena mengantuk di kelas. Tak disangka, pola hidup Agus karena ternyata hidupnya penuh perjuangan jadi driver ojek online demi bertahan hidup di Jakarta. Anak pasangan buruh dan tukang cuci membuatnya jadi petarung tanpa diketahui banyak orang.
Overall, novel yang menarik. Tidak berat, meski agak men-downgrade diri jadi pembaca kelas remaja, tapi bolehlah nilai-nilai kemanusiaan itu memberi spirit baru dalam kerasnya kehidupan ini.