Seporsi Mie Ayam Sebelum (Tak Jadi) Mati

Brian Khrisna kembali menghadirkan kisah getir orang terpinggir. Dari sini kita belajar, bagaimana hidup harus disyukuri. Seberapapun kelam itu.

Saya butuh sepanjang perjalanan dari Bandara Soekarno Hatta ke Yogyakarta International Airport dan hari-hari sesudahnya, untuk menamatkan buku 208 halaman karya Brian Khrisna ini: Sepotong Mie Ayam Sebelum Mati. Di halaman setelah cover saya tulis coretan: ”Begitulah hidup… berani hidup tetap lebih baik daripada berani mati…”

Buku kedua yang saya baca dari penulis muda popular ini setelah Sisi Tergelap Surga, membedah Jakarta dengan segala bagian kemiskinannya.

Kali ini, ’Seporsi Mie Ayam’ bergenre tentang problema kesehatan mental. Khsusunya depresi akut. Mengisahkan kisah Ale. Pekerja di kawasan SCBD Jakarta, yang merasa hidupnya sia-sia. Kerja memang di kawasan Sudirman, tinggal di sebuah apartemen standar, tapi hidupnya bak pelengkap penderita saja. Di kantor menjadi sebuah sekrup. Di berbagai tempat diolok karena postur tubuhnya besar dan tidak ideal. Ibunya di kampung hanya peduli kapan Ale kirim uang.

Saat itulah, Ale berniat mati. Meminta psikiaternya memberi obat yang akan dia minum dengan dosis berlipat. Tapi, sebelum menuntaskan niat itu, Ale ingin menikmati mie ayam langganannya untuk kali terakhir.

Dan, cerita pun bergulir. Ale gagal bunuh diri karena pagi itu penjual mie ayam favoritnya justru meninggal dunia. Ia pun ikut mengubur jenazah hingga sore hari. Nyasar ke warkop untuk membeli rokok, yang ternyata adalah warung bikinan intel polisi. Di situlah ia jadi korban salah tangkap, dituduh sebagai konsumen narkoba.

Di kantor polisi, tepatnya sel tahanan, hidupnya berubah. Dari dihajar, kemudian kenal bos tahanan, yang juga sahabat polisi. Murad namanya.

Begitulah, sampai mereka berdua bebas, Ale jadi pengikut baru Murad. Namun, setelah merasakan berbagai kemewahan itu, ia memutuskan pergi.

Beberapa figur kemudian jadi tempatnya belajar menemukan kehidupan. Adik Murad yang pengen kerja kantoran. Juleha, wanita penghibur yang melakukan semua demi anaknya. Ipul, office boy kantor yang tak henti berterima kasih padanya. Bu Murni, pelanggan kue bolu yang depresi kehilangan anak nan mengabaikannya.

Juga Pak Uju, pelanggan layangan yang pernah diselamatkan Ale dari ancaman Murad merenggut anak gadisnya. Sampai Pak Jipren, si buta penjual Kerupuk Bangka. Jipren yang memberi statement memikat di halaman-halaman akhir buku terbitan Gramedia Grasindo ini,

“Hidup itu seperti pertandingan tinju. Kekalahan tidak ditentukan ketika kamu jatuh, tetapi ketika kamu memutuskan unutk tidak mau bangkit lagi.”

Mari, mencintai dan menjalani hidup ini. Sesulit dan seberat itu. Seperti Ale yang akhirnya memesan mie ayam dari anak penjual langganannya. Tetap membayar, tak menyentuh makanan itu, dan tak jadi mati.

Leave a Reply

Your email address will not be published.