Beberapa kali ke Medan belum sempat singgah ke Istana Maimoon atau Maimun. Sama sajalah. Akhirnya, kini jadi juga masuk ke sana.
Bahkan saat Januari 2005, kala Medan masih menggunakan Polonia sebagai bandar udara komersialnya, saya sudah melewati bangunan berwarna kuning emas itu. Pikiran tertuju pada liputan dampak tsunami Aceh, jadi tak terpikirkan singgah ke sana.
Begitupula pada muhibah ke Medan berkali-kali berikutnya. Syukurlah, kali ini misson accomplished.

“Kalau sempat, tolong antar ke Istana Maimun,” pinta saya pada jurnalis senior Medan, Rizanul Arifin. Deal. Dari Warkop Jurnalis, kami menumpang taksi online pulang pergi. Tak jauh jaraknya, tak sampai setengah jam perjalanan mobil.
”Ini bangunan cagar budaya, harusnya kondisinya bisa lebih bagus dari ini,” ungkapnya. Kami melihat wahana pasar malam seperti komidi putar di teras istana. Konon, beberapa keluarga Kerajaan Deli masih tinggal di situ.

Siang itu, siswa Sekolah Rakyat Deli Serdang berkunjung ke Istana Maimun, Maka, penuhlah ruang tengah istana yang ada di Jalan Brigadir Jenderal Katamso, Medan Mainun ini.
Istana ini dibangun pada 1888-1891. Pembangunan Istana Maimun ini didesain oleh arsitek Capt. Theodoor Van Erp yaitu seorang tentara Kerajaan Belanda. Pembangunan itu dilakukan atas perintah Sultan Makmun Al-Rasyid Perkasa Alamsyah.

Istana Maimun memiliki luas bangunan 2.772 m2 dan terbagi atas 3 bagian, yaitu induk, sayap kiri, dan sayap kanan. Bangunan itu terletak di atas lahan seluas 217×200 m2.
Arsitektur bangunan ini cukup unik karena adanya percampuran antara budaya Islam, tradisional Melayu, dan gaya Eropa. Pada bagian depan, atap, lengkungan (arcade), ornamen gedung mengingatkan pada seni budaya Islam Timur Tengah dan India, sementara pada bagian pintu dan jendela dirancang dengan gaya bangunan Spanyol. Untuk bahan interiornya banyak diimpor dari Eropa.

Dulunya, Istana Maimun menjadi pusat pemerintahan sekaligus tempat tinggal Sultan. Bahkan, istana ini dulu terhubung dengan Masjid Raya Al Mahsun Medan dan Taman Sri Deli. Namun, sejak tahun 2003 hingga sekarang, bangunan ini telah beralih fungsi menjadi obyek wisata sekaligus hunian bagi keluarga ahli waris.
Di sana juga terdapat sebuah meriam bersejarah. Meriam itu disebut sebagai Meriam Buntung atau Meriam Puntung.

Menurut legenda yang beredar, meriam tersebut sebenarnya adalah manusia. Adalah Mambang Khayali, adik Putri Hijau yang sengaja menjelma menjadi meriam. Dirinya dikisahkan sebagai seseorang yang cantik jelita.
Ia berubah menjadi meriam tatkala Raja Aceh menyerang. Serangan terjadi karena pinangan Raja Aceh ditolak oleh Putri Hijau.

Meriam tersebut menembak tanpa henti hingga pada akhirnya, ia pecah menjadi dua dan berakhir buntung. Ada yang menyebutkan jika potongannya terlempar hingga ke dataran tinggi Karo. Istana Maimun memiliki dua tingkat yang sekelilingnya ditopang oleh 82 buah tiang batu berbentuk segi delapan (oktagonal) dan 43 buah tiang kayu dengan lengkungan-lengkungan yang berbentuk lunas perahu terbalik dan ladam kuda. Atapnya berbentuk limasan atau kubah (dome), sedangkan dari segi bahannya adalah sirap dan tembaga (seng).
Dalam catatan detikcom, bangunan Istana Maimun didominasi dengan warna kuning. Di dalamnya juga terdapat 30 ruangan yang memiliki fungsinya masing-masing, mulai dari tempat acara adat kerajaan, ruang tamu, hingga dapur.

Bangunan induk atau ruangan utama juga dikenal dengan sebutan Balairung Sri. Luasnya mencapai 412 m2 dan berfungsi sebagai tempat penerimaan tamu atau acara penobatan Sultan Deli.
Di ruangan tersebut pula, terdapat banyak barang peninggalan zaman dulu, contohnya senjata, foto keluarga, dan perabotan bergaya Eropa.












